Kendari – Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Tenggara (Sultra) tengah mempersiapkan pembentukan 20 kampung iklim sebagai bagian dari program nasional Indonesia Hijau. Program ini mendapat dukungan anggaran sebesar Rp2,2 miliar dari pemerintah pusat yang dialokasikan untuk tiga tahun ke depan.
Menurut Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sultra, Andi Makkawaru, program nasional Indonesia Hijau akan difokuskan pada inventarisasi gas rumah kaca serta pelaksanaan Program Kampung Iklim (Proklim), khususnya di daerah-daerah rawan dampak perubahan iklim seperti wilayah pesisir.
“Di tahun 2025, kami menjalankan amanah pusat dalam program Indonesia Hijau, salah satunya dengan memetakan emisi gas rumah kaca dan menjalankan Proklim di kawasan yang rentan, terutama di pesisir,” ujar Andi, Selasa (1/7/2025).
Kata Andi, masyarakat pesisir yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan sangat rentan terganggu secara ekonomi ketika cuaca ekstrem terjadi. Karena itu, Proklim tidak hanya menyasar pelestarian lingkungan, tetapi juga ketahanan penghidupan warga.
“Proklim adalah bentuk adaptasi. Tujuannya agar masyarakat tetap punya sumber penghasilan berkelanjutan meski berada di tengah tantangan iklim,” katanya.
Sementara itu, Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan DLH Sultra, Awaluddin menjelaskan, tahap awal pelaksanaan Proklim meliputi pencatatan lokasi serta aksi-aksi iklim yang sudah dijalankan masyarakat.
“Untuk tahap pertama, kami mengidentifikasi 20 titik yang akan diusulkan ke kementerian. Di setiap lokasi, kami catat kegiatan adaptasi dan mitigasi yang sudah berjalan, seperti pengelolaan sampah, budidaya mangrove, atau daur ulang,” jelas Awaluddin.
Data itu kemudian dilaporkan ke pusat melalui aplikasi SRN PPI (Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim). Proses verifikasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Pusat Data dan Informasi (Pusdal) dijadwalkan berlangsung pada tahun 2026.
“Jika data lolos verifikasi, baru kami masuk ke tahap pengembangan program pada semester kedua tahun 2026 hingga 2027,” tambahnya.
Selanjutnya, DLH akan mulai melakukan intervensi program di lapangan, termasuk kegiatan agroforestri di 20 desa dan pengembangan silvofishery, yaitu integrasi antara konservasi mangrove dengan usaha budidaya perikanan seperti kepiting atau udang.
“Di lokasi yang punya potensi, kami akan bentuk lanskap terpadu yang menggabungkan ekowisata, konservasi, dan kegiatan ekonomi berbasis alam,” bebernya.
Dalam pelaksanaannya nanti, Proklim tidak hanya dijalankan oleh DLH, melainkan juga melibatkan Dinas Kehutanan dan Bappeda Sultra. Ketiga instansi akan bekerja secara terintegrasi dalam satu wilayah yang sama untuk memastikan efektivitas pendekatan adaptasi dan mitigasi iklim.
“Semua harus berada di lanskap yang sama. Tidak bisa DLH bekerja di satu tempat, lalu dinas lain di lokasi berbeda. Tujuannya membangun ketahanan iklim yang berbasis wilayah,” tegasnya.
Daftar lengkap 20 desa atau kelurahan yang akan ditetapkan sebagai kampung iklim masih dalam tahap finalisasi. Proses koordinasi lintas dinas sedang dilakukan untuk memastikan bahwa lokasi yang dipilih sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing daerah.
“Finalisasi kami targetkan selesai akhir tahun ini. Sebab di awal 2025, kegiatan pencatatan dan pelaporan ke pusat sudah harus dimulai,” tutupnya.
Post Views: 48