Sulawesi Tenggara – Tim peneliti dari Satya Bumi, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Tenggara (Sultra), dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Sagori, mengungkap para pemain tambang nikel di Pulau Kabaena yang masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Buton Tengah (Buteng). Nama-nama itu disebut dalam riset berjudul “Kabaena Jilid II: Menelusuri Pintu Awal Kerusakan dan Jejaring Politically Exposed Person” yang dirilis di Kota Kendari pada Senin, 23 Juni 2025.
Tiga perusahaan pertambangan nikel yang beroperasi di Pulau Kabaena, Kabupaten Buteng, adalah PT Arga Morini Indah (AMI), PT Arga Morini Indotama (Amindo), dan PT Anugrah Harisma Barakah (AHB). PT AMI dan Amindo sendiri memiliki struktur kepemilikan, organisasi, serta komposisi pemegang saham yang hampir sama, termasuk kedudukan perseroan. Kedua perusahaan itu berada di bawah kepemimpinan Achmad Fachruz Zaman, purnawirawan jenderal polisi bintang dua.
Selain itu, pemegang saham PT AMI dan Amindo ialah PT Rowan Sukses Investama. Perusahaan itu memiliki keterkaitan dengan Gubernur Sultra, Andi Sumangerukka, melalui direktur utamanya, Arif Kurniawan. Di mana Arif Kurniawan memiliki hubungan dekat dengan istri Andi Sumangerukka, Arinta Nila Hapsari. Kedekatan Arif Kurniawan dan Arinta Nila Hapsari juga melalui PT Tribhuwana Sukses Mandiri.

Di PT Tribhuwana Sukses Mandiri, Arif Kurniawan merupakan direktur utamanya, sedangkan Arinta Nila Hapsari salah satu pemegang saham. Arif Kurniawan juga merupakan pemilik manfaat PT Dua Delapan Resources, yang berkaitan dengan transaksi pembelian saham PT Tonia Mitra Sejahtera (TMS). Di mana Arinta Nila Hapsari merupakan mantan komisaris PT TMS.
Arif Kurniawan memang populer dalam bisnis nikel di Indonesia. Dia bahkan sempat dipanggil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2020 terkait pemberian izin kuasa pertambangan eksplorasi dan eksploitasi serta izin usaha pertambangan operasi produksi dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Konawe Utara (Konut) periode 2007 – 2014. Arif Kurniawan juga tercatat sebagai penerima manfaat di PT Dua Delapan Kawei, pemegang saham mayoritas perusahaan tambang nikel di kepulauan Kabupaten Raja Ampat, PT Kawei Sejahtera Mining.
Sementara pemilik PT AHB ialah Ketua Dewan Pengurus Pusat (DPP) Partai Amanat Nasional (PAN), Widdi Aswindi. Ia juga merupakan konsultan pemenangan mantan Gubernur Sultra, Nur Alam. Kepemilikan saham PT AHB sebenarnya didominasi PT Billy Internasional (BI) dan PT Arjuna Cakra Bintang. Selain kedua perusahaan itu, PT AHB juga dimiliki PT Wahana Semesta Utama, yang mayoritas sahamnya dikuasai Widdi Aswindi. Istri Widdi Aswindi, Wini Pratiwi Sekartini, juga tercatat menjadi salah satu komisaris dan pemegang saham PT Wahana Semesta Utama.
“Keterlibatan pejabat publik hingga elit aparat keamanan yang mendiami posisi strategis dalam tentakel bisnis tambang nikel makin memperjelas bagaimana praktik kegiatan usaha pertambangan di pulau kecil tetap berlangsung,” kata Direktur Eksekutif Walhi Sultra, Andi Rahman, Senin (23/6/2025) lalu.
Selain nama-nama pemain tambang nikel di pulau kecil Kabaena, peneliti menggunakan citra satelit untuk melihat peringatan deforestasi tiga perusahaan tersebut. Dari pemantauan citra satelit, terdapat peringatan deforestasi pada area konsesi PT AMI seluas 506,55 hektare terhitung sejak tahun 2001 – 2024. Aktivitas deforestasi mulai terlihat signifikan pada tahun 2007 dengan luasan 44,35 hektare, yang diduga sebagai awal dimulainya kegiatan pertambangan PT AMI.
Meskipun terdapat jeda aktivitas pada periode 2014 – 2019, peringatan kembali muncul, menunjukkan adanya aktivitas baru atau berlanjut. Tak jauh dari konsesi PT AMI, PT Amindo berada di dua kabupaten, yakni Bombana dan Buteng. Hasil pemantauan citra satelit menunjukkan peringatan deforestasi sejak tahun 2002 sampai 2024 seluas 194,51 hektare. Di mana peringatan lebih banyak terjadi di wilayah Buteng dengan luasan mencapai 158,9 hektare.
“Kami melakukan estimasi luasan pembukaan lahan perusahaan-perusahaan tersebut hingga tahun 2025. PT AMI dan PT Amindo tercatat telah melakukan pembukaan lahan secara kumulatif seluas 661,939 hektare, yang sebagian besar terletak di kawasan dengan tingkat kemiringan tinggi dengan potensi erosi sedang hingga berat,” ungkap Andi.
Sementara PT AHB belum melakukan aktivitas pembukaan lahan secara fisik pada konsesinya di wilayah administrasi Buteng. Namun, PT AHB memiliki peringatan deforestasi tertinggi pada konsesinya di wilayah administrasi Kabupaten Bombana pada rentang tahun 2001 – 2022 seluas 641,29 hektare.
PT AHB disebut sedang mempersiapkan pembukaan lahan baru di Buteng. Hal itu ditunjukkan melalui aktivitas pengukuran serta adanya interaksi dengan masyarakat setempat untuk melakukan pembelian lahan. Hasil pemantauan citra satelit pada April 2025 turut mengonfirmasi bahwa PT AHB sudah memulai ekspansi ke dalam wilayah administrasi Buteng.
“Hasil pemetaan spasial dan investigasi lapangan, ditemukan konsesi ketiga perusahaan juga memiliki tumpang tindih dengan kawasan hutan. Hutan lindung seluas 19,59 hektare pada konsesi PT AHB, hutan produksi seluas 40,92 hektare pada konsesi PT AHB, dan hutan produksi terbatas seluas 3.612,33 hektare di konsesi tiga perusahaan,” jelasnya.
Pembukaan lahan dan aktivitas penambangan nikel telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang berdampak langsung pada kesehatan dan mata pencaharian masyarakat di Pulau Kabaena. Peneliti menyebut banyak penduduk Desa Wulu, Kecamatan Talaga Raya, Kabupaten Buteng, mengalami gangguan pernapasan, karena wilayah mereka hanya berjarak 400 – 600 meter dari lokasi penambangan nikel. Sementara di Desa Talaga Besar, Kecamatan Talaga Raya, warga banyak mengeluhkan perubahan warna air laut dan gatal-gatal saat memanen rumput laut.
Menurunnya kualitas kesehatan diikuti menyusutnya pendapatan masyarakat. Warga Desa Talaga Besar yang banyak berprofesi sebagai petani rumput laut mengalami penurunan penghasilan, karena panena yang sedikit. Begitu pula masyarakat suku Bajo di Desa Kokoe, Kecamatan Talaga Raya, yang menggantungkan hidupnya di laut. Kekeruhan laut memaksa para nelayan membawa perahunya lebih jauh dengan biaya operasional yang juga meningkat. Sementara suku Buton di Desa Liwulompona dan Talaga Besar banyak terdampak konflik lahan, utamanya mereka yang berprofesi sebagai petani.
Aktivitas penambangan nikel di Pulau Kabaena yang masih terus berlangsung menunjukkan lemahnya penegakan hukum. Secara aturan, Kabaena merupakan pulau kecil yang seharusnya dilindungi dari kegiatan ekstraktif berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta diperkuat Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-XXI/2023.
Olehnya itu, Satya Bumi, Walhi Sultra, dan LSM Sagori, mendesak pencabutan seluruh izin usaha pertambangan (IUP) dan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) di Pulau Kabaena; meminta pemulihan ekologis secara menyeluruh di wilayah terdampak, serta menghentikan praktik eksploitasi sumber daya alam di pulau-pulau kecil di seluruh wilayah Indonesia.
“Tambang di pulau-pulau kecil tidak hanya ilegal secara hukum, tetapi mengorbankan ruang hidup masyarakat lokal, merusak ekosistem dan biodiversitas, dan menghancurkan masa depan Kabaena,” pungkasnya.
Post Views: 65