Kendari – Sebanyak 47 karyawan Rumah Sakit (RS) Santa Anna Kendari di bawah naungan PT Citra Ratna Nirmala (CRN) mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) massal usai mengikuti proses seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS).
Dari total 47 karyawan yang terlibat, lima orang di antaranya hingga kini menolak PHK dan sedang menempuh jalur hukum.
Salah seorang karyawan yang terkena PHK, Lusiana Margareta menuturkan, kasus itu bermula pada September 2024, saat hasil seleksi administrasi CPNS Pemprov Sultra diumumkan. Dari data internal, diketahui ada 47 nama karyawan RS Santa Anna yang dinyatakan lulus administrasi. Mereka terdiri dari 21 pegawai tetap dan 26 pegawai dengan status Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).
Suasana RDP antara karyawan yang di-PHK dan RS Santa Anna Kendari di Kantor DPRD Sultra. Foto: Herlis Ode Mainuru/Kendariinfo. (30/6/2025).
“Kami saat itu langsung dipanggil oleh direksi lewat undangan WhatsApp untuk rapat pada 26 September 2024. Di situ kami baru tahu kalau nama kami terdeteksi sebagai peserta CPNS dan dianggap melanggar aturan rumah sakit,” ujar Lusiana kepada Kendariinfo, Senin (30/6/2025).
Dalam pertemuan itu, lanjut Lusiana, manajemen rumah sakit melalui Wakil Direktur SDM, Risnawati langsung membacakan sanksi yakni potongan tunjangan Service Excellence sebesar Rp300 ribu per bulan selama enam bulan sejak September 2024 hingga Februari 2025.
“Selain itu, kami juga dikenakan SP II secara lisan, tanpa ada surat tertulis,” jelasnya.
Namun dalam pertemuan itu, pihak direksi tetap mengizinkan seluruh karyawan yang sudah terlanjur ikut seleksi CPNS untuk melanjutkan ke tahap tes berikutnya.
“Kami semua diminta tanda tangan sebagai bukti setuju atas sanksi itu. Karena memang kami ingin tetap bisa ikut tes CPNS, akhirnya kami tanda tangan,” tambahnya.
Belum genap dua bulan, tepatnya 21 November 2024, manajemen kembali memanggil 47 karyawan itu.
Kali ini, mereka diberi kabar mengejutkan. Direktur PT Citra Ratna Nirmala, Yori Lapu langsung menyampaikan bahwa mereka dikenakan SP III karena dianggap tetap melanggar aturan perusahaan dengan mengikuti tes CPNS.
Lebih mengejutkan lagi, dalam pertemuan itu mereka langsung di-PHK dan dipaksa menulis surat pengunduran diri. Form surat tersebut sudah disiapkan. Bahkan, ditampilkan lewat LCD agar mereka menyalinnya. Tetapi, para karyawan menolak menulis surat itu.
“Karena kami sadar, kalau kami mengundurkan diri, kami kehilangan hak atas pesangon,” bebernya.
Penolakan tersebut rupanya tak membuat manajemen mundur. Lusiana menyebut, pihak rumah sakit memanggil satu per satu karyawan ke ruangan direksi. Saat dipanggil, mereka tetap disuruh menulis surat pengunduran diri, bahkan ditawari bekerja lagi dengan gaji orientasi Rp1,5 juta untuk lulusan S1 dan Rp1,4 juta untuk D3, tetapi syaratnya tetap harus mengundurkan diri dulu.
Bagi karyawan yang berstatus PKWT, dikatakan kontrak mereka pun tidak diperpanjang begitu masa kontraknya habis.
Puncaknya terjadi 22 Februari 2025, saat 21 orang pegawai kembali dikumpulkan dan diberikan SK PHK.
“Tanpa ada surat pemberitahuan PHK sebelumnya, tiba-tiba kami dikumpulkan dan diberikan SK PHK beserta besaran pesangon. Anehnya, dalam SK itu tak ada bunyi pasal pelanggaran. Kami juga langsung disodorkan Surat Perjanjian Bersama yang isinya sangat memberatkan,” katanya.
Tak hanya itu, menurutnya perhitungan pesangon pun dianggap janggal. Sebab masa kerja mereka dihitung mulai saat mereka diangkat sebagai pegawai tetap, bukan dari tahun pertama kami bekerja. Besaran pesangon hanya setengah dari upah pokok dikalikan masa kerja pegawai tetap.
Setelah menolak, SK PHK itu ditarik. Namun, pada 26 – 27 Februari 2025, SK baru kembali dibagikan. Kali ini, bunyi SK itu disebut atas kemauan sendiri. Tetapi pesangonnya tetap hanya setengah dan hitungannya tetap dari masa kerja sebagai pegawai tetap.
Dari 21 orang pegawai tetap, 16 di antaranya memilih menerima PHK, sedangkan 5 orang menolak dan masih mempertahankan haknya hingga sekarang. Sedangkan untuk 27 pegawai PKWT, ada yang langsung diberhentikan tanpa SK dan tanpa kejelasan hak. Demi mendapatkan keadilan, mereka konsultasi ke LBH Kendari terkait jalur hukum yang bisa ditempuh.
“Hingga kini, pengurusan hak-hak ketenagakerjaan kami termasuk klaim JKP dan DPKWI masih ditahan,” ujarnya.
Pada Senin (30/6), 5 karyawan yang menolak PHK ini dipertemukan dengan Direksi RS Santa Anna dan PT CRN. Pertemuan dilakukan di Kantor DPRD Kota Kendari dalam bentuk rapat dengar pendapat (RDP) yang dipimpin langsung oleh Ketua Komisi I DPRD Kota Kendari, Zulham Damu.
Saat Zulham meminta klarifikasi ke pihak RS Santa Anna dan PT CRN, Kuasa Hukum mereka Syahrir Cakari, mengaku bahwa PHK itu sudah sesuai aturan yang berlaku di perusahaan.
Bahkan, PHK diberikan dengan alasan, 47 karyawan ini melanggar aturan yang telah ditetapkan perusahaan.
“Sebenarnya dalam aturan perusahaan kami, karyawan itu dibolehkan untuk mengikuti tes CPNS. Tetapi harus disampaikan paling lama 30 hari sebelum tes supaya kami bisa carikan penggantinya. Mereka ini diam-diam semua, makanya melanggar aturan kami karena ikuti tes CPNS,” ucap Syahrir.
Menanggapi itu, Direktur LBH Kendari, Sadham Husein sekaligus pengacara para karyawan yang terkena PHK menegaskan, aturan yang digunakan oleh pihak RS Santa Anna dan PT CRN baru digunakan setelah karyawan ini mengikuti tes CPNS.
“Saat klien kami mengikuti tes, aturan bahwa karyawan disanksi karena ikut tes, itu belum ada. Nanti setelah ikut tes, baru mereka gunakan itu aturan. Dalam ilmu hukum, itu tidak boleh,” tegas Sadham.
Karena kedua belah pihak tak menemukan titik temu di DPRD Kota Kendari, Zulham memilih merekomendasikan kasus tersebut dilanjutkan di PHI (Perselisihan Hubungan Industrial). Jika di kemudian hari, PHI memutuskan bahwa RS Santa Anna yang keliru, maka DPRD Kota Kendari akan mengaudit rumah sakit itu.
“Kalau tidak mau diselesaikan di sini, kita rekomendasikan ke PHI. Tetapi ingat, kalau RS Santa Anna diputuskan bersalah, kami di DPRD akan periksa ini rumah sakit,” pungkasnya.
Post Views: 182