Sulawesi Tenggara – Sepanjang Januari hingga April 2025, Badan Karantina Indonesia (Barantin) melalui Satuan Pelayanan Wakatobi, Balai Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan Sulawesi Tenggara (Sultra) telah melakukan tindakan penahanan terhadap hewan dan olahannya tanpa dilengkapi dokumen kesehatan sebanyak lima kali.
“Lima tindakan tersebut yakni penahanan teripang sebanyak 10,5 kg, penahanan tanduk rusa sebanyak 3 pcs, penahanan 600 kg daging ayam, dan penahanan 3 ekor kambing,” kata Kepala Balai Karantina Sultra, A. Azhar melalui keterangan persnya, Senin (14/4/2025).
Terbaru, Karantina Sultra melakukan penolakan terhadap 3 ekor kambing tanpa dokumen karantina yang hendak dilalulintaskan ke wilayah Sultra melalui pelabuhan Wakatobi, Senin (14/4).
“Kami melakukan penolakan terhadap tiga ekor kambing yang hendak masuk ke wilayah Sultra karena tidak dilengkapi dokumen kesehatan dari daerah asal. Dokumen ini sebagai jaminan kesehatan bagi komoditas yang dilalulintaskan, dan ini penting guna mencegah penyebaran Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) yang dapat merugikan peternak,” imbuh Azhar.
Kambing saat ini termasuk dalam kategori hewan rentan terhadap Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), dan untuk sementara dibatasi pergerakannya menuju wilayah Sulawesi Tenggara (Sultra). Pembatasan ini didasarkan pada Surat Edaran Kepala Badan Karantina Indonesia Nomor 620 Tahun 2025 mengenai peningkatan kewaspadaan terhadap penyebaran PMK.
Azhar menjelaskan bahwa PMK merupakan penyakit menular yang menyerang hewan berkuku belah, seperti sapi, kambing, domba, dan babi. Penyakit ini disebabkan oleh virus dari keluarga Picornaviridae, genus Aphthovirus, yang sangat cepat menular antarhewan serta berdampak besar terhadap produktivitas dan ekonomi sektor peternakan.
Sebagai langkah pencegahan, pihak Karantina Sultra terus mengedukasi masyarakat serta pelaku usaha agar mematuhi seluruh ketentuan dalam proses pengiriman hewan ternak.
“Imbauan ini ditegaskan sebagai bentuk perlindungan terhadap kesehatan masyarakat dan keberlangsungan ekosistem hewan di wilayah Sultra,” lanjutnya.
Dia juga menambahkan bahwa pengawasan intensif dilakukan melalui penerapan sistem biosekuriti yang ketat. Sistem ini mencakup pengelolaan risiko terkait masuk, keluar, dan penyebaran hama atau penyakit, serta dilakukan melalui regulasi yang ketat, inspeksi rutin, dan pengawasan di lokasi-lokasi strategis seperti pelabuhan, bandara, dan perbatasan wilayah.
Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa merujuk pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2019 Pasal 35, setiap media pembawa hewan, ikan, maupun tumbuhan yang akan dilalulintaskan wajib disertai sertifikat kesehatan dari daerah asal. Jika ketentuan ini dilanggar, maka berdasarkan Pasal 88, pelaku dapat dikenakan sanksi pidana penjara hingga dua tahun serta denda maksimal Rp2 miliar.
Post Views: 76