Harap-Harap Cemas Petani Kolaka di Tengah Gempuran Industri Nikel

2 hours ago 2

Kolaka – Arifin cepat-cepat menutup saluran air irigasi yang mengalir ke dalam petakan sawahnya di Lorong Lawonia, Desa Okooko, Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara (Sultra). Dia khawatir hujan turun membawa air bercampur lumpur bekas galian tambang nikel. Sore itu cuaca cukup cerah, tetapi Arifin takut malam hari akan turun hujan. 

Dia menutup saluran air dengan kayu dan batu. Menurut Arifin, padi yang terlanjur terendam air bercampur lumpur menjadi kerdil, anakan berkurang, dan warnanya kekuningan. “Ini dia contohnya,” kata Arifin menunjuk petak sawah yang berada di sisi aliran irigasi saat ditemui Kendariinfo, Rabu, 19 Maret 2025. 

Pria berusia 61 tahun itu menyebut padinya baru berusia dua minggu. Padi yang pertumbuhannya tak biasa ditandai dengan jumlah anakan maksimal lima tunas baru. Sementara padi yang tumbuh normal dapat mencapai 15 sampai 20 anakan. 

Sungai Okooko berwarna kuning kecokelatan menjadi sumber pengairan sawah masyarakat di Desa Okooko, Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara (Sultra).Sungai Okooko berwarna kuning kecokelatan menjadi sumber pengairan sawah masyarakat di Desa Okooko, Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara (Sultra). Foto: La Ode Risman Hermawan/Kendariinfo. (19/3/2025).

Pertumbuhan anakan itulah yang turut berpengaruh pada masa panen dan hasil produksi Arifin. “Misalnya yang dimasuki tanah merah satu petak. Satu petak itu berbuah setelah yang lain panen. Sementara yang dianjurkan dinas pertanian itu serentak,” ujarnya.

Menurut Arifin, sejak masifnya pertambangan nikel di sekitar Desa Okooko, produksi gabah kering panen (GKP) para petani menjadi berkurang. Dalam satu hektare sawah, Arifin dan Kelompok Tani Lawonia lainnya hanya memproduksi tiga ton GKP.

“Kalau di sini penghasilan satu hektare rata-ratanya tiga ton. Mending sekali kalau tiga ton. Padahal lima ton masih jalan-jalan. Hasilnya kadang tidak kembali modal,” ungkapnya.

Air bercampur lumpur yang kerap kali masuk ke sawah menjadi penyebab utama menurunnya produktivitas sawah Asrifin. Air irigasi yang mengalir di sepanjang Lorong Lawonia berasal dari Sungai Okooko yang membelah Kecamatan Pomalaa dan Tanggetada. Sepanjang sungai yang melewati Desa Okooko, warnanya kuning kecokelatan.

Air kuning kecokelatan berasal dari tanah bekas galian tambang di sepanjang Sungai Okooko. Hasil penelitian Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sultra pada Oktober 2022 menunjukkan Sungai Okooko tercemar. Salah satu kandungan berbahaya adalah kromium heksavalen (Cr-VI).

Kandungan Cr-VI mencapai 0,021 sampai 0,124 miligram per liter. Kandungan tersebut melebihi kelas satu sampai tiga baku mutu sungai sungai berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

 La Ode Risman Hermawan/Kendariinfo. (17/4/2025).Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Tenggara (Sultra), Andi Rahman. Foto: La Ode Risman Hermawan/Kendariinfo. (17/4/2025).

“Pencemaran racun logam berat, terutama Cr-VI yang melebihi standar air internasional dan nasional di sungai dan sumber air masyarakat akibat aktivitas pertambangan merupakan kejahatan korporasi dan jelas merupakan pelanggaran terhadap standar internasional, termasuk prinsip-prinsip panduan PBB tentang bisnis dan hak asasi manusia,” ujar Direktur Eksekutif Walhi Sultra, Andi Rahman, Kamis, 17 April 2025.

Namun, bagi Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sultra, Andi Makkawaru, menentukan sungai tercemar perlu pengujian pada laboratorium yang terakreditasi dan teregistrasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia (RI). Mantan Penjabat (Pj.) Bupati Kolaka tahun 2024 itu menganggap Sungai Okooko juga belum melebihi kelas II baku mutu air sungai.

“Kita tidak bisa mengatakan perusahaan itu menyebabkan pencemaran, kalau laboratorium kami pun tidak menerapkan pengambilan sampel dan pengujian sampel sesuai standar. Kalau dia belum ditetapkan kelasnya, maka kita mengikuti kementerian bahwa dia kelas II. Kalau dia misalnya kelas II, berarti masih aman,” kata Andi Makkawaru, Selasa, 29 April 2025.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sulawesi Tenggara (Sultra), Andi Makkawaru.Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sulawesi Tenggara (Sultra), Andi Makkawaru. Foto: La Ode Risman Hermawan/Kendariinfo. (29/4/2025).

Di Kabupaten Kolaka sendiri tercatat ada 13 perusahaan tambang nikel dan sembilan di antaranya beroperasi di Kecamatan Pomalaa. Perusahaan-perusahaan itu termasuk PT Aneka Tambang (Antam) Tbk. dan PT Vale Indonesia Tbk. Namun, dugaan pencemaran Sungai Okooko juga disebabkan praktik penambangan nikel ilegal di Pomalaa.

“Selama adanya tambang-tambang di Okooko, utamanya di atas sini, yang bikin repot kita petani adalah masalah air. Dampaknya ini luar biasa. Bukan main-main dampaknya tambang terhadap pertanian,” ungkapnya.

Arifin yang juga Ketua Kelompok Tani Lawonia mengungkapkan dia anggotanya kini hanya menggarap 20 hektare sawah di Okooko. Empat hektare lainnya sudah tak lagi produktif, karena terendam air bercampur lumpur. “Saya kelompokku di sini yang terdaftar hanya 20 hektare. Di luar itu tidak layak, karena sudah kena tanah merah,” ungkapnya.

Arifin waswas terhadap banjir yang membawa endapan lumpur. Dia menunjukkan bekas endapan lumpur yang masih tersisa dengan menginjakkan kaki dalam saluran irigasi. Setiap kali Arifin mengangkat kakinya, air menjadi keruh kecokelatan. Dinding pada saluran irigasi juga masih menempel tanah yang lembek. “Kayak tepung pisang goreng,” ujarnya.

Dia kian khawatir nasib petani atas dampak pembangunan kawasan smelter Indonesia Pomalaa Industry Park (IPIP), sebuah proyek kerja sama antara Huayou Cobalt, Vale Indonesia, dan Ford Motor di Kolaka. Meski belum resmi beroperasi, Proyek Strategis Nasional itu sedang dalam tahap konstruksi dan pembebasan lahan.

Arifin menyebut 10 hektare sawah yang saat ini dikelola anggota Kelompok Tani Lawonia masuk dalam kawasan IPIP. Jika IPIP sudah beroperasi, luas sawah kelompok Arifin tersisa 10 hektare. Namun, Arifin tak punya pilihan selain bertani di tengah desakan industri nikel di desanya. “Tidak ada baiknya sawah dekat dengan tambang. Mungkin kita akan kalah sendiri bersawah,” ujarnya.

Artikel ini merupakan serial liputan yang didukung penuh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan Traction Energy Asia melalui program Akademi Jurnalis Ekonomi-Lingkungan (AJEL) Tahun Ke-3.

Post Views: 112

Read Entire Article
Rapat | | | |