Sidang Korupsi Setda Kendari: Terdakwa Ningsih Bongkar Sisi Gelap Nahwa Umar Terkait Permintaan Uang hingga Intimidasi

1 day ago 9

Kendari – Suasana ruang sidang Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Kendari, Senin (14/7/2025), mendadak tegang. Agenda sidang lanjutan kasus dugaan tindak pidana korupsi pada Bagian Umum Sekretariat Daerah (Setda) Kota Kendari tahun anggaran 2020 memperlihatkan dinamika emosional yang menyentuh sisi kemanusiaan.

Sidang kali ini menghadirkan para terdakwa sebagai saksi satu sama lain, yakni mantan Sekda Kota Kendari, Nahwa Umar, Bendahara Pengeluaran Ariyuli Ningsih Lindoeno, dan Pembantu Bendahara Muchlis. Di balik tumpukan dokumen dan argumen hukum, muncul cerita-cerita pribadi yang mengungkap sisi lain dari proses birokrasi yang kompleks.

Terdakwa Ningsih, yang saat itu duduk di kursi saksi, tidak kuasa menahan air mata. Ia mengungkapkan tekanan berat yang dialaminya saat menjalankan tugas sebagai bendahara pengeluaran. Menurutnya, berbagai tekanan dari atasan, baik secara verbal maupun nonverbal, membuat dirinya sempat mempertimbangkan mundur dari jabatan tersebut.

“Terlalu banyak tekanan. Saya sempat mau mengundurkan diri. Tetapi tidak diizinkan,” ujar Ningsih dengan suara parau dan mata berkaca-kaca di hadapan majelis hakim.

Lebih dari itu, Ningsih mengaku sering mendapat perintah untuk menyerahkan uang tunai kepada Sekda Nahwa saat itu, dalam jumlah yang bervariasi antara Rp5 juta hingga Rp6 juta. Penyerahan uang tersebut, menurut pengakuannya, dilakukan di sejumlah lokasi, termasuk di rumah pribadi, ruang kerja, hingga sebuah hotel di Kendari.

Yang menarik, dalam keterangannya, Ningsih menyebut komunikasi dalam permintaan uang kerap dilakukan dalam bahasa daerah. Upaya menolak pun pernah dilakukan, namun tekanan halus dalam bentuk nasihat dari Nahwa Umar justru membuatnya merasa tidak punya pilihan.

“Saya sempat diamkan permintaan itu. Tetapi Ibu Sekda bilang begini, Bu Ning, kita harus jaga hubungan baik dengan orang. Ucapan itu membuat saya tertekan, seolah-olah saya tidak boleh menolak,” ungkapnya.

Pengakuan Ningsih pun diamini oleh Muchlis yang duduk bersampingan. Ia membenarkan bahwa Ningsih kerap curhat soal tekanan yang ia alami selama menjabat. Cerita ini memberi warna baru pada perjalanan kasus yang tengah bergulir di ruang Tipikor.

Namun ketegangan mencapai puncaknya saat terdakwa utama, Nahwa Umar, diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan. Di hadapan hakim, Nahwa menyatakan bahwa kesaksian Ningsih mengada-ngada dan disebut oleh Nahwa, sedang mengalami gangguan jiwa.

“Berdasarkan informasi dari klinik Lapas, Ningsih mengalami gangguan kejiwaan,” kata Nahwa.

Pernyataan tersebut memicu reaksi emosional. Ningsih tampak tersinggung dan suasana sidang menjadi gaduh. Hakim Arya Putra Negara Kutawaringin, pun harus mengetuk palu untuk menenangkan ruang sidang dan mengingatkan kedua pihak untuk menjaga etika persidangan.

Kejadian ini memperlihatkan bahwa persoalan korupsi bukan hanya soal angka dan aturan, tetapi juga menyentuh sisi-sisi kemanusiaan. Tekanan mental, relasi kekuasaan, dan kondisi psikologis para pelaku kerap menjadi bagian dari cerita besar yang jarang terekspos.

Sebagai institusi publik, pemerintah dan seluruh elemen birokrasi diharapkan terus belajar dari dinamika seperti ini. Proses hukum yang sedang berjalan harus menjadi pengingat bahwa tata kelola anggaran publik membutuhkan sistem yang bersih, adil, dan berlandaskan pada prinsip kemanusiaan.

Post Views: 206

Read Entire Article
Rapat | | | |