Konawe Selatan – Direktur Pusat Kajian dan Advokasi Hak Asasi Manusia (Puspaham) Sulawesi Tenggara (Sultra), Kisran Makati, menilai surat imbauan Bupati Konawe Selatan (Konsel) bukan solusi untuk mengatasi banyaknya konflik agraria di wilayah itu. Menurut Kisran, surat imbauan bupati tidak menyentuh persoalan di akar rumput.
“Konflik agraria tidak bisa diselesaikan dengan surat imbauan sepihak. Dibutuhkan pendekatan kelembagaan yang partisipatif dan sistemik, bukan sekadar administratif,” ujar Kisran, Minggu (27/7/2025).
Berbagai kasus yang melibatkan perusahaan besar, seperti PT Tiran Sulawesi, PT Bosowa Mining, PT Merbau Indah Raya Group, PT Kilau Indah Cemerlang, PT Sumber Madu Bukari (SMB) dan PT Bumi Makmur Perkasa (BMP), PT Marketindo Selaras (MS), PT Ifishdeco Tbk., PT Kapas Indah Indonesia, serta konflik agraria masyarakat melawan TNI AU di Ranomeeto terus menambah deret panjang ketegangan di akar rumput.
Konflik-konflik tersebut menyasar wilayah strategis dan rentan, termasuk lokasi transmigrasi, seperti Rakawuta, Trans Arongo, Trans Roda, Tolihe, Amohola I dan II, serta desa-desa lokal di Angata, Lalonggombu, dan kawasan lain yang kini tumpang tindih dengan hutan negara, wilayah kelola masyarakat, hingga konsesi korporasi. Banyak dari konflik diduga melibatkan perizinan tidak akuntabel dan dasar hukum yang sah.
Namun, alih-alih menyelesaikan persoalan dengan pendekatan reformis dan konstitusional, Bupati Konsel, Irham Kalenggo, justru menerbitkan Surat Nomor 600.3 tanggal 21 Juli 2025 dan Nomor 500.8/2741 tanggal 10 Juni 2025. Surat Nomor 600.3 berisi tentang imbauan penyelesaian sengketa antara masyarakat Tani Angata vs PT. SMB, PT. BMP, dan PT Marketindo Selaras (MS), melalui jalur hukum formal. Sementara Surat Nomor 500.8/2741 berisi tentang penghentian sementara aktivitas PT MS di Angata.
“Kami menilai pendekatan ini tidak menyentuh akar persoalan, tetapi justru memperkuat dominasi korporasi sembari melemahkan posisi masyarakat,” kata Kisran.
Daripada memberikan imbauan, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Konsel seharusnya membentuk gugus tugas reformasi agraria (GTRA). Kisran mengungkapkan GTRA bukanlah pilihan politik, melainkan amanat konstitusi. Merujuk Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria, pemerintah daerah diwajibkan membentuk GTRA sebagai wadah yang menyatukan unsur Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) atau Badan Pertanahan Nasional (BPN), kehutanan, masyarakat sipil, akademisi, hingga komunitas terdampak.
“GTRA bukan hanya forum koordinatif, tetapi juga instrumen konkret dalam menata ulang ketimpangan penguasaan dan pemanfaatan tanah,” ungkapnya.
Kisran menyebut ketidakmampuan atau pembiaran negara dalam menjamin hak rakyat atas tanah bisa dikategorikan pelanggaran HAM serius sebagaimana dijamin Pasal 28H ayat (4) UUD 1945, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM (Pasal 9 dan 13), UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup atau PPLH (Pasal 66-67), Prinsip-Prinsip PBB tentang Bisnis dan HAM (UNGP), hingga konvensi-konvensi internasional yang telah diratifikasi Indonesia.
Banyaknya konflik agraria di Konsel, Puspaham Sultra mendesak pembentukan GTRA dengan melibatkan pemerintah sektoral, masyarakat sipil, dan warga terdampak. Puspaham Sultra juga meminta adanya audit legalitas seluruh perizinan, baik hak guna usaha (HGU), izin usaha perkebunan (IUP), dan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), yang bersinggungan dengan permukiman, wilayah kelola masyarakat atau kawasan hutan.
Pemerintah juga diminta meninjau ulang serta mencabut izin korporasi yang terbukti melanggar hukum atau merampas hak warga serta melindungi masyarakat dari segala bentuk kriminalisasi maupun intimidasi dalam memperjuangkan haknya. Puspaham Sultra juga mendesak intervensi dari Kementerian ATR atau BPN serta Kementerian Desa dalam penyelesaian konflik di wilayah transmigrasi dan kehutanan di Konsel.
“Jika pemerintah terus menunda penyelesaian, yang terjadi bukan sekadar konflik, tetapi krisis keadilan. Negara tidak boleh netral dalam ketimpangan. Keberpihakan harus pada rakyat,” pungkasnya.
Post Views: 14