8 Hari di Gunung Mekongga Kolaka Utara: Diguyur Hujan Hampir Sepekan, Seumur Hidup Dikenang

1 day ago 4

Kolaka Utara – Tidak ada janji kemudahan di Gunung Mekongga, Kabupaten Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara (Sultra). Dengan ketinggian 2.620 meter di atas permukaan laut, gunung tertinggi di Sultra itu justru dikenal bukan karena angkanya, melainkan karena medan liar, vegetasi rapat, dan cuaca yang kerap tak bersahabat.

Demikian yang dialami Amanda Lucky, mantan Duta Pariwisata Sultra 2025, bersama timnya dalam ekspedisi Gunung Mekongga 2025. Selama 8 hari 7 malam, Senin – Senin, (8 – 15/12/2025), mereka berjalan, bertahan, dan beradaptasi di bawah hujan yang turun hampir tanpa jeda selama enam hari perjalanan.

“Ekstrem bukan karena ketinggian saja, tetapi karena medan yang masih sangat liar dan vegetasinya yang rapat,” ujar Amanda kepada Kendariinfo, Rabu (17/12).

Suasana jalur pendakian Gunung Mekongga, Kabupaten Kolaka Utara yang ditempuh Amanda Lucky bersama tim Ekspedisi Mekongga 2025.Suasana jalur pendakian Gunung Mekongga, Kabupaten Kolaka Utara yang ditempuh Amanda Lucky bersama tim Ekspedisi Mekongga 2025. Foto: Istimewa.

Perjalanan Amanda dimulai dari Desa Tinukari, Kecamatan Wawo, Kolaka Utara. Sebelum benar-benar memasuki jalur pendakian, rombongan sudah dihadapkan pada ujian awal: penyeberangan Sungai Rante Angin.

Sungai itu cukup lebar, dengan arus yang bisa berubah deras, terutama saat musim hujan. Dalam perjalanan menuju pintu rimba, sedikitnya empat anak sungai harus dilewati.

“Hampir empat anakan sungai dilewati,” terangnya.

Bagi Amanda, langkah-langkah awal itu menjadi semacam pengingat. Bahwa di Mekongga, setiap meter perjalanan harus dibayar dengan kewaspadaan.

Potret Amanda Lucky, mantan Duta Pariwisata Sulawesi Tenggara (Sultra) 2025 saat berhasil mencapai puncak Gunung Mekongga, Kabupaten Kolaka Utara (Kolut).Potret Amanda Lucky, mantan Duta Pariwisata Sulawesi Tenggara (Sultra) 2025 saat berhasil mencapai puncak Gunung Mekongga, Kabupaten Kolaka Utara (Kolut). Foto: Istimewa.

Gerbang Pintu Rimba, Hutan Hujan Tropis, Bebatuan Karst Tajam, dan Sumber Air yang Sulit

Memasuki jalur pendakian, karakter Mekongga segera terasa. Kanopi pepohonan rapat menahan cahaya matahari. Pacet yang jumlahnya melimpah menjadi teman setia yang sulit dihindari. Mereka menempel di kaki, sepatu, bahkan merayap ke sela pakaian.

“Agresif dan jumlahnya banyak,” ucapnya.

Ada kalanya, Amanda bersama tim harus merangkak di bawah batang pohon tumbang, atau berjalan perlahan di jalur longsoran yang licin. Vegetasi yang rapat itu, menjadi tantangan tersendiri bagi mereka. Semak berduri, rotan, dan pakis liar setinggi dua meter memaksa tim membuka jalur di beberapa titik.

Belum lagi, lanskap berubah seiring perjalanan. Makin ke puncak, hutan lumut mulai mendominasi. Pepohonan diselimuti lichen, alias lumut kerak, organisme unik hasil simbiosis mutualisme antara jamur (fungi) dan alga atau sianobakteri. Kondisi medan itu menciptakan suasana magis sekaligus menipu. Kabut yang turun bisa membuat orientasi hilang, sementara lumut basah menjadikan setiap pijakan licin dan berisiko.

“Gunung Mekongga menyambut kami dengan wajah aslinya. Jalur panjang, hutan rapat, tanjakan sunyi. Namun di sanalah kami menemukan arti berjalan bersama,” ujarnya.

Makin ke puncak, makin tak ada kemudahan. Bebatuan karst yang tajam dan berbahaya mulai mengintai ketika tim mendekati puncak. Tanah berubah menjadi batu kapur tajam yang dapat merobek sepatu atau celana jika lengah. Belum lagi, lubang-lubang vertikal yang tersembunyi di balik lumut dan semak menjadi ancaman serius.

Di kawasan ini, sumber air menjadi persoalan. Karst menyerap air ke dalam tanah, membuat mata air makin jarang ditemukan. Setiap persediaan air harus dikelola sebaik mungkin, terutama saat hujan tak selalu menjamin ketersediaan air bersih.

“Sumber air menjadi sangat langka di atas,” katanya.

8 Hari yang Melelahkan, Belajar Tunduk pada Alam

Amanda dan tim ekspedisi berjumlah 15 orang, 4 perempuan dan 11 laki-laki, yang terdiri dari gabungan beberapa organisasi pendakian. Selama ekspedisi itu, mereka menempuh perjalanan selama 8 hari 7 malam dengan cuaca yang terus berubah, cenderung buruk hingga enam hari lamanya hujan mengguyur dalam perjalanan mereka yang melelahkan itu.

Cuaca yang buruk memaksa mereka mendirikan tenda perkemahan di beberapa titik. Pos 2 menjadi pemberhentian pertama mereka, lalu dilanjutkan bermalam di Camp Livi, jalur menuju pos 4. Dari situ, mereka bergerak menuju pos 6, sebuah area yang dikenal dengan sebutan Danau Cocacola. Hujan yang tak kunjung berhenti, akhirnya memaksa mereka bertahan selama dua hari di titik itu. Selepas perjuangan itu, perjalanan kembali dilanjutkan menuju pos 8 Moase, sebuah titik mata air terakhir sebelum puncak.

“Tenda kami berdiri di atas tanah basah, malam-malam panjang ditemani kabut dan doa-doa sederhana. Tak ada sinyal, tak ada keramaian.”

“Di hari-hari basah itu, kami belajar menghargai api kecil yang menyala, secangkir hangat yang dibagi rata, dan tawa yang muncul meski tubuh lelah,” kenang Amanda.

Perjuangan itu makin berarti, ketika alam tiba-tiba memberi jeda. Dalam perjalanan menuju puncak, cuaca akhirnya perlahan cerah. Kabut yang selama ini membatasi jarak panjang, diam-diam sirna. Badai dan hujan digantikan angin dan langit yang terbuka.

“Saat hujan akhirnya mereda, kami sadar, yang kami bawa turun bukan hanya dokumentasi perjalanan, tetapi pelajaran hidup yang akan lama menetap,” jelasnya.

Namun, kelegaan itu tak berlangsung lama. Selepas mencapai puncak, sudah waktunya untuk kembali turun, sebab rumah adalah satu-satunya tujuan.

Saat perjalanan turun dimulai, hujan kembali mengguyur, mengiringi langkah Amanda dan tim yang kali ini lebih berat karena kelelahan. Meski begitu, mereka berhasil turun dengan selamat. Tak ada yang tertinggal. Tak ada yang cedera serius.

Bagi Amanda, perjalanan yang melelahkan itu bukan tentang keberhasilan mencapai puncak semata, melainkan tentang sepatu yang tak pernah benar-benar kering, pakaian yang terus basah, dingin yang merayap pelan, dan langkah berat yang hanya bisa dilalui dengan saling menjaga.

“Kami melangkah bukan untuk menaklukkan, melainkan untuk belajar tunduk pada alam. 8 hari di Mekongga, 6 hari diguyur hujan, dan seumur hidup untuk mengenangnya,” tutup Amanda.

Post Views: 87

Read Entire Article
Rapat | | | |