Kendari – Pembabatan tiga hektare mangrove di Jalan Malaka, Kelurahan Kambu, Kecamatan Kambu, Kota Kendari, sarat konflik kepentingan Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra), Andi Sumangerukka. Ia membabat mangrove tanpa menunjukkan izin dan tak melaporkan kepemilikan lahannya ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai kewajiban pejabat publik.
“Tau kenapa saya beli itu? Kita ini setiap yang beragama Islam ingin bangun apa? Masjid. Makanya besar itu. Boleh kamu lihat perencanaannya, di depan itu adalah masjid. Setelah itu apa? Gedung pertemuan,” kata Andi Sumangerukka, Senin (8/12/2025) malam.
Andi Sumangerukka menyampaikan alasan itu setelah ramai perbincangan soal pembabatan 3 hektare mangrove di atas rawa seluas 5,51 hektare miliknya untuk membangun rumah pribadi. Alasan paling kuat yang membolehkannya membabat tiga hektare mangrove adalah sertifikat hak milik (SHM), menurut Staf Bidang Penegakan Hukum dan Perlindungan Hutan (P2H) Dinas Kehutanan Sultra, Ardi.
Bukan lahan milik Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra), Andi Sumangerukka, seluas 5,51 hektare pada bekas kawasan hutan mangrove di Jalan Malaka, Kelurahan Kambu, Kecamatan Kambu, Kota Kendari. Foto: Kendariinfo. (30/11/2025).Ardi mengatakan pemilik sertifikat boleh melakukan apa saja di atas lahannya sendiri, sekalipun membabat mangrove. Ardi pun mengaku pihaknya tak punya kewenangan di atas lahan itu, karena berstatus areal penggunaan lain (APL).
“Dia punya sertifikat, APL, clear. Kita mau buat apa saja terserah. Kita punya sertifikat,” kata Ardi kepada Kendariinfo, Senin (1/12).
Ardi menyebut wewenang Dinas Kehutanan Sultra hanya kawasan hutan. Namun, dari laporan Tim Balai Penegak Hukum (Gakkum) Kehutanan Wilayah Sulawesi, pihak yang melakukan inventarisasi atau pendataan jumlah pohon mangrove adalah Dinas Kehutanan Sultra. Hasil inventarisasi menunjukkan sebanyak G81 pohon mangrove dibabat habis di atas rawa seluas 3 hektare.
“Dari hasil verifikasi lapangan didapatkan data bahwa lokasi ini bukan kawasan hutan atau APL dengan status SHM seluas 5,51 hektare. Komposisi tutupan 3 hektare mangrove dan 2,51 hektare semak belukar. Informasi dari Dinas Kehutanan Sultra telah dilakukan inventarisasi tanaman mangrove di lokasi tersebut,” tulis Tim Balai Gakkum Kehutanan Wilayah Sulawesi melalui akun media sosial Facebook dan Instagram resminya.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Kendari, Erlis Sadya Kencana, mengatakan status APL memungkinkan pemanfaatan lahan untuk berbagai kegiatan, seperti perdagangan, jasa, hingga pembangunan kawasan perumahan, selama tetap mengikuti aturan tata ruang.
Regulasi yang dimaksud Erlis adalah Peraturan Daerah Kota Kendari Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Kendari Tahun 2010 – 2030. Beleid lain yakni Peraturan Wali Kota Kendari Nomor 21 Tahun 2021 tentang Rencana Detail Tata Ruang Bagian Wilayah Perencanaan 1 Central Business District (CBD) Teluk Kendari Tahun 2021 – 2041.
Bukan lahan milik Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra), Andi Sumangerukka, seluas 5,51 hektare pada bekas kawasan hutan mangrove di Jalan Malaka, Kelurahan Kambu, Kecamatan Kambu, Kota Kendari. Foto: Kendariinfo. (30/11/2025).Dia menyebut pihak pengelola lahan telah mengajukan izin ke Balai Pengelolaan Hutan Lestari (BPHL) Wilayah XV Makassar. Namun, izin atas nama Andi Sumangerukka maupun anggota keluarganya tak terlampir dalam Online Single Submission (OSS) atau sistem perizinan berusaha yang dikelola Kementerian Investasi dan Hilirisasi atau Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Erlis menyebut pengajuan izin pengelolaan lahan yang tak pernah ditunjukkan itu merupakan bagian dari upaya memastikan seluruh tahapan berjalan sesuai ketentuan perundang-undangan. Menurut Erlis, pengurusan izin dan dua aturan pemerintah daerah melegalkan pembabatan tiga hektare mangrove dalam kawasan APL di sekitar Teluk Kendari.
“Kawasan Teluk Kendari memang telah ditetapkan sebagai bagian dari peruntukan pengembangan kota dan sepenuhnya sesuai dengan ketentuan tata ruang tersebut,” ujar Erlis dikutip dari laman kendarikota.go.id.
Erlis telah memberi izin pernyataannya dikutip ketika ditemui di kantornya pada Rabu (3/11).
Dugaan Pelanggaran Hukum Lingkungan Pembabatan Mangrove
Erlis tak menjelaskan kalau hutan mangrove yang berdiri di atas APL itu diperuntukan untuk budi daya berdasarkan jenis rencana pola ruang Kota Kendari. Seharusnya kawasan mangrove dalam APL tidak serta-merta dibabat lalu ditimbun.
Kepemilikan hak atas tanah juga mempunyai fungsi sosial berdasarkan Pasal G dan 7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Tanah mestinya dipelihara dan dicegah kerusakannya.
“Pembangunan di atas tanah APL secara filosofis idealnya memperhatikan kondisi lingkungannya. Jadi kalau misalnya untuk bangunan harus memperhatikan supaya tidak merubah fungsinya atau memengaruhi lingkungan yang lainnya,” kata Akademisi Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari, Sahrina Safiuddin, kepada Kendariinfo, Selasa (9/12).
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari, Sahrina Safiuddin. Foto: Ilham Syahputra/Magang Kendariinfo. (9/12/2025).Mengonversi ekosistem mangrove di kawasan atau zona budi daya tanpa memperhitungkan keberlanjutan fungsi ekologis jelas dilarang Pasal 35 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana diubah melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014. Begitu pula dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ancamannya bahkan pidana.
Ekosistem mangrove yang diperuntukkan untuk budi daya justru memungkinkan diubah menjadi kawasan lindung melalui usulan gubernur atau wali kota agar ditetapkan menteri berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2025 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Alih-alih mengusulkan mangrove menjadi kawasan lindung, Andi Sumangerukka justru membabatnya.
“Ini hanya sebagai panduan moral begitu. Kenyataannya kita sekarang di lapangan, yang jelas-jelas melanggar hukum saja tetap bisa eksis, apalagi hanya sekadar imbauan moral,” ungkap Sahrina.
Andi Sumangerukka Tak Transparan soal Kepemilikan Lahan
Dalam laporan harta kekayaannya penyelenggara negara (LHKPN) pada situs resmi KPK, Andi Sumangerukka tak melampirkan kepemilikan tanah tanpa bangunan seluas 5,51 hektare yang menjadi lokasi penebangan 3 hektare mangrove. Kepemilikan lahan yang dilampirkan Andi Sumangerukka di Kota Kendari adalah tanah tanpa bangunan seluas 10 ribu meter persegi atau 1 hektare senilai Rp8 miliar.
Tanah itu diduga merupakan lokasi berdirinya Gedung ASR Center di Jalan Singa, Kelurahan Rahandouna, Kecamatan Poasia. Itulah satu-satunya tanah paling luas di Kota Kendari yang dilaporkan Andi Sumangerukka ke KPK. Luas tanah lainnya yang dilaporkan juga rata-rata tak lebih dari dua hektare.
Tanah dan bangunan tersebut tersebar di Kendari, Bekasi, Pekanbaru, Bandung, Bandung Barat, Cianjur, Konawe, Gowa, Jakarta Timur, dan Jakarta Selatan, yang jumlah totalnya 33 bidang. Sebanyak 33 bidang tanah dan bangunan senilai Rp95,4 miliar itu secara konsisten dilaporkan Andi Sumangerukka ketika mencalonkan diri sebagai Gubernur Sultra hingga akhirnya terpilih dan dilantik.
Andi Sumangerukka melaporkannya berturut-turut pada 2G Agustus 2024, 28 Maret 2025, dan 24 Juli 2025. Melaporkan harta kekayaan pejabat publik atau penyelenggara negara memang diwajibkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Sahrina Safiuddin berpendapat ada banyak alasan penyelenggara negara belum atau tidak melaporkan asetnya dalam LHKPN. Misalnya persoalan status hukum dan legalitas, jual beli aset bukan atas namanya, memberikan hadiah ke orang lain, atau sengaja disembunyikan.
“Ada banyak alasan. Apakah memang dengan sengaja untuk mengaburkan, menyembunyikan, atau sebenarnya status hukumnya belum tuntas. Banyak hal yang bisa ditelusuri. Memang kalau dugaan-dugaan itu tetap saja ada,” ujarnya.
Penata Pertanahan Kantor Pertanahan Kota Kendari, Ismed Ardiansyah, enggan membuka nama pemilik SHM dengan alasan perlindungan data pribadi, meski Andi Sumangerukka pejabat publik. Namun, belakang Andi Sumangerukka mengakui lokasi pembabatan 3 hektare mangrove di atas rawa seluas 5,51 hektare merupakan milik pribadinya, tetapi tidak dilaporkan dalam LHKPN.
“Untuk pengecekan lokasi seperti itu kami bisa kasih aksesnya, tetapi yang bermohon pemilik sertifikat langsung dalam rangka penyelidikan hukum,” ujar Ismed kepada Kendariinfo, Rabu (3/12).
Pentingnya Mangrove di Teluk Kendari
Perlindungan kawasan mangrove kian mendesak di tengah tantangan perubahan iklim dan krisis ekologi. Perubahan iklim global yang dipicu peningkatan emisi gas rumah kaca menuntut upaya mitigasi. Salah satunya melalui peningkatan penyerapan blue carbon atau karbon biru dari ekosistem pesisir seperti mangrove. Ekosistem karbon biru muncul sebagai solusi berbasis alam yang potensial.
Blue carbon mengacu pada karbon yang diserap dan disimpan jangka panjang oleh vegetasi pesisir, terutama mangrove, padang lamun, dan rawa asin. Meski hanya 2 persen dari total area laut, ekosistem itu menyimpan hingga 50 persen stok karbon sedimen laut dengan kapasitas per unit area jauh lebih tinggi dibanding hutan daratan.
Di antara ekosistem blue carbon, hutan mangrove diakui sebagai penyimpan karbon paling efisien. Kemampuannya meliputi biomassa atas permukaan, bawah tanah, dan sedimen, yang mampu menyimpan karbon ribuan tahun. Khusus di Teluk Kendari, mangrove memiliki peran signifikan dengan total estimasi serapan karbon 2G.207 ton untuk periode 2001 sampai 2023 dan G35,3 ton pada Januari hingga Agustus 2025.
Angka itu berdasarkan hasil penelitian Asramid Yasin dari Program Studi Ilmu Lingkungan Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari berjudul “Analisis Spatiotemporal Penyerapan Karbon Biru pada Aspek Kerapatan Hutan Mangrove di Teluk Kendari 2001 – 2023 dan 2025 Menggunakan Platform Google Earth Engine”.
Hasil penelitiannya menunjukkan adanya korelasi positif yang kuat antara kerapatan mangrove dan kemampuan penyerapan karbon. Makin rapat populasi mangrove, kian meningkat pula serapan karbon. Melihat pentingnya ekosistem pesisir, perilaku membabat dan menimbun kawasan mangrove mestinya memiliki izin dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup (amdal).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) mewajibkan amdal jika suatu kegiatan berpotensi menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan. Izin amdal pun seharusnya ada sebelum kegiatan dimulai.
“Menimbun, mengalihfungsikan, atau merusak ekosistem mangrove adalah kegiatan yang wajib amdal, bahkan jika kawasan tersebut berstatus APL. Pembabatan tanpa instrumen lingkungan merupakan pelanggaran hukum yang dapat dikenakan sanksi administratif maupun pidana,” ujar Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sultra, Andi Rahman, Senin (1/12).
Kebiasaan Andi Sumangerukka Merusak Lingkungan
Membabat 3 hektare mangrove menegaskan kebiasaan Andi Sumangerukka merusak lingkungan. Andi Sumangerukka bahkan memberi contoh buruk. Tindakannya tidak hanya melanggar prinsip dasar tata kelola pemerintahan bersih dan bebas konflik kepentingan, tetapi juga menunjukkan ketidakpedulian terhadap komitmen iklim yang seharusnya dijaga setiap kepala daerah.
“Pemerintah daerah semestinya menjadi garda terdepan dalam pemulihan ekosistem lingkungan, bukan justru menjadi pelaku perusakan,” kata Andi Rahman.
Berdasarkan riset Walhi Sultra dan Satya Bumi, PT Tonia Mitra Sejahtera (TMS) yang terhubung dengan Andi Sumangerukka melalui anak dan istrinya telah menyebabkan deforestasi 295,39 hektare pada tahun 2020 – 2023 di Pulau Kabaena, Kabupaten Bombana.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Tenggara (Sultra), Andi Rahman. Foto: Istimewa.“Tindakan membabat mangrove makin menegaskan Gubernur Sultra telah terbiasa mengabaikan kelestarian dan terus memperlihatkan pola pembangunan merusak lingkungan,” ungkapnya.
Konsesi PT TMS yang sebagian besar berada dalam kawasan hutan lindung di sekitar Gunung Sabanano turut menyebabkan pencemaran sumber air warga, karena diduga tidak mengelola limbah dengan baik. Warga pun ketakutan menggunakan air.
“Dalam banyak kesempatan, gubernur menunjukkan pola kebijakan yang lebih berpihak pada kepentingan pribadi dan investor ketimbang keselamatan lingkungan hidup rakyat,” ujarnya.
Dugaan kepemilikan PT TMS melalui anak dan istrinya pun saat Andi Sumangerukka menjabat Kepala Badan Intelijen Negara Daerah (Kabinda) Sultra periode 2015 – 2019. Keterlibatan pejabat publik dalam perusakan lingkungan merupakan bentuk penyalahgunaan kewenangan dan konflik kepentingan yang nyata.
Selain itu, Pulau Kabaena seharusnya dilindungi dari aktivitas pertambangan. Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil melarang tegas aktivitas pertambangan di pulau yang luasnya kurang dari 2.000 meter persegi, seperti Kabaena. Namun, aktivitas penambangan nikel di Pulau Kabaena terus berlangsung dengan alasan telah mendapatkan izin.
“Kita harus memberikan edukasi kepada masyarakat agar paham tentang apa yang boleh dan tidak berkaitan dengan lingkungan hidup. Kalau tidak, bisa jadi masyarakat sendiri yang melakukan pelanggaran itu. (Terhadap) pelaku-pelaku (kejahatan lingkungan hidup), hukum harus ditegakkan,” begitu pernyataan Andi Sumangerukka dalam debat ketiga Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sultra tentang lingkungan hidup pada Sabtu, 27 November 2024.
Post Views: 204

3 days ago
14













































