Tak Ada Ruang untuk Menghina Perempuan: Ketegasan Hukum di Ruang Digital

3 days ago 16

Belakangan ini, masyarakat Sulawesi Tenggara digemparkan oleh sebuah siaran langsung di media sosial yang menampilkan seorang perempuan berinisial DG melontarkan pernyataan bernada merendahkan terhadap perempuan dari Kota “R” yang secara sosial dan budaya dikenal sebagai bagian utama komunitas Suku “M”.

Pernyataan seperti “siapa paling cantiknya “R” kah? Coba kasih lihat saya siapa paling cantiknya “R” itu?. Orang “R” saja mengakui, orang-orang “R” itu jelek-jelek” disampaikan secara terbuka di ruang digital yang dapat diakses publik luas.

Ucapan semacam ini tidak bisa dianggap sebagai gurauan biasa, karena secara hukum telah menyentuh unsur penghinaan terhadap golongan masyarakat tertentu yang secara konstitusional dilindungi kehormatannya.

Sebagai Praktisi Hukum sekaligus masyarakat Sulawesi Tenggara, saya menilai bahwa pernyataan tersebut patut ditempatkan dalam bingkai hukum yang objektif dan bertanggung jawab. Kalimat yang disampaikan DG dapat dikualifikasikan sebagai delik penghinaan terhadap golongan.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 156 KUHP, dan juga sebagai ujaran kebencian berbasis identitas sebagaimana dimuat dalam Pasal 28 ayat (2) jo. Pasal 45A ayat (2) UU ITE.

Dalam rumusan Pasal 156 KUHP, unsur “di muka umum” terpenuhi karena pernyataan disampaikan melalui siaran langsung di media sosial. Unsur “penghinaan” terlihat jelas dalam penggunaan kata-kata yang merendahkan martabat, dan unsur “terhadap golongan” terpenuhi karena sasarannya adalah kelompok masyarakat berbasis asal-usul daerah dan identitas suku.

Sementara itu, dari perspektif hukum siber, unsur-unsur dalam UU ITE terpenuhi secara lengkap, informasi disebarkan melalui sistem elektronik, dilakukan dengan sadar, dan mengandung potensi menimbulkan kebencian atau permusuhan terhadap kelompok masyarakat berdasarkan suku atau latar sosial budaya tertentu.

Tidak diperlukan akibat fisik untuk menggerakkan proses hukum atas delik semacam ini. Kerugian moril, seperti rasa malu kolektif, tekanan psikologis sosial, hingga terganggunya kehormatan komunal, merupakan bentuk akibat hukum yang sah dan diakui dalam hukum pidana modern.

Permintaan maaf yang mungkin disampaikan setelah pernyataan tersebut tidak serta-merta menghapus pertanggungjawaban pidana. Dalam doktrin hukum pidana, permintaan maaf hanya dipertimbangkan sebagai faktor yang meringankan pada tahap penjatuhan pidana, bukan sebagai alasan penghapus delik.

Yang menjadi pokok adalah terpenuhinya unsur perbuatan yang secara objektif telah melanggar norma hukum yang berlaku. Prinsip “actus non facit reum nisi mens sit rea” mengajarkan bahwa kesalahan muncul ketika suatu perbuatan dilakukan dengan kesadaran dan kehendak.

Dalam kasus ini, pelaku menyampaikan ucapan dengan sadar, direkam, disiarkan langsung, dan diarahkan pada kelompok yang dapat dikenali secara eksplisit. Maka, unsur kesalahan secara hukum pun terpenuhi.

Di sisi lain, konstitusi memang menjamin kebebasan berekspresi, namun Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa, kebebasan itu harus tunduk pada pembatasan demi menghormati hak dan martabat orang lain, serta menjaga ketertiban umum.

Ketika kebebasan tersebut berubah menjadi alat untuk menyakiti kelompok lain secara terbuka, maka negara wajib hadir untuk memastikan bahwa nilai-nilai keadilan tetap ditegakkan. Dalam hal ini, hukum bukan bertujuan membalas, melainkan menjaga batas. Bahwa martabat manusia, terlebih perempuan dari kelompok tertentu, bukan ruang bebas untuk direndahkan atas nama hiburan atau popularitas digital.

Sebagai bagian dari masyarakat Sulawesi Tenggara, saya memahami betul bahwa perempuan menempati posisi penting dalam struktur sosial kita. Mereka tidak hanya mewakili keluarga, tetapi juga menjadi simbol kehormatan komunitas.

Ketika perempuan dari Kota “R” yang secara budaya merepresentasikan identitas masyarakat suku “M” dihina secara terbuka di ruang digital, maka yang terluka bukan hanya individu, tetapi juga marwah kolektif yang dijunjung tinggi oleh adat dan kesadaran sosial kita bersama.

Penegakan hukum dalam kasus seperti ini membutuhkan langkah yang tegas namun proporsional, cepat namun berkeadilan, untuk menegaskan bahwa hukum tidak hanya bekerja dalam teks, tetapi juga hadir di tengah masyarakat. Bukan untuk menakut-nakuti, tetapi untuk mendidik, membatasi, dan melindungi.

Jika pernyataan yang menyerang identitas kelompok dibiarkan tanpa proses hukum yang semestinya, maka akan terbentuk persepsi bahwa ruang digital adalah arena bebas dari tanggungjawab. Dan bila itu terus terjadi, maka hukum pelan-pelan akan kehilangan wibawanya di mata publik.

Oleh karena itu, saya mendorong agar aparat penegak hukum bertindak berdasarkan bukti yang sudah terang dan unsur pasal yang telah lengkap. Tidak untuk menghukum secara emosional, tetapi untuk mengembalikan kepercayaan publik bahwa hukum benar-benar hadir untuk melindungi martabat semua warga negara secara setara.

Martabat perempuan bukan bahan konten. Ia adalah wilayah kehormatan yang harus dijaga bersama. Tak ada ruang untuk menghina perempuan, bahkan di live TikTok. Bukan hanya demi perempuan Kota “R” tetapi demi harga diri kita semua sebagai bangsa yang menjunjung hukum.

Opini: Praktisi Hukum Sulawesi Tenggara, Sugihyarman Silondae, S.H., M.H.

Post Views: 176

Read Entire Article
Rapat | | | |