Sengkarut Tambang Nikel di Torobulu

4 hours ago 4

Konawe Selatan – Kini Ambo (37) tak lagi bisa memanen rumput laut. Dia menjadi satu dari banyaknya petani rumput laut di Desa Torobulu, Kecamatan Laeya, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel), Sulawesi Tenggara (Sultra), yang harus kehilangan mata pencaharian. Sejak perusahaan tambang nikel PT Billy Indonesia (BI) dan PT Wijaya Inti Nusantara (WIN) beroperasi di desanya, gagal panen rumput laut terus menghantui hingga hilang total pada 2021.

“Hasilnya dulu lumayan. Misalnya (rumput laut) jual basah 10 bentangan, saya sudah dapat Rp1 juta. Rp100 ribu satu bantangan biasanya. Jadi kalau 10 bantangan dia ambil, saya dapat Rp1 juta. Itu lain lagi yang mau dijemur. Jadi uang masuk terus,” ungkap Ambo, Kamis, 28 Februari 2025.

Jejak Ambo membudidayakan rumput laut diikuti hampir seluruh nelayan lain di Lorong Bajo, Desa Torobulu, seperti Satar (42), Kamaruddin (44), dan Daeng Harman (40). Budi daya rumput laut sebelum tahun 2010 sangat menyenangkan. Proses pembibitan hingga panen sangat mudah. Perawatannya tak sulit. Penghasilan setiap kali panen menjanjikan.

Infografis dampak aktivitas tambang nikel di Desa Torobulu, Kecamatan Laeya, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel), Sulawesi Tenggara (Sultra).Infografis dampak aktivitas tambang nikel di Desa Torobulu, Kecamatan Laeya, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel), Sulawesi Tenggara (Sultra). Desain: Chevin Breemer.

“Kalau yang saya rasakan, ya, memang enak sekali. Agar itu kalau sudah dipanen memuaskan. Kadang Rp6 juta, kadang Rp7 juta, kadang Rp10 juta,” tambah Ambo.

Tak hanya bagi petani seperti Ambo, Satar, Daeng Harman, dan Kamaruddin, anak-anak serta perempuan juga ikut menikmati keuntungan produksi rumput laut. Anak-anak dan perempuan turut bekerja memasang bibit rumput laut dengan upah Rp5 ribu per satu bentangan. Satu tali bentangan rumput laut memiliki panjang 20 sampai 30 meter.

Satu anak maupun perempuan mampu memasang bibit hingga 10 bentangan tali rumput laut setiap harinya. Bagi anak-anak, penghasilan dari memasang bibit rumput laut sudah lebih dari cukup untuk jajan. Sementara bagi perempuan atau ibu rumah tangga, penghasilannya sangat membantu ekonomi keluarga. “Termasuk juga kita buka lapangan kerja,” kata Satar menyambung cerita Ambo.

Pada akhir 2017, PT WIN resmi beroperasi di Torobulu. Masifnya aktivitas PT WIN seiring kebijakan hilirisasi nikel dikeluhkan masyarakat. Selain menghilangkan mata pencaharian petani rumput laut, PT WIN juga menambang dekat permukiman dan Sekolah Dasar Negeri (SDN) 12 Laeya. PT WIN bahkan menambang dalam penampungan air bersih warga.

PT WIN beroperasi di Torobulu setelah membeli saham PT Billy Indonesia (BI) yang sebelumnya telah menambang sejak 2010 sampai 2016. Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sultra, Andi Makkawaru, menyebut lokasi penambangan nikel PT WIN dan PT BI merupakan bekas konsesi PT International Nickel Company (Inco) Tbk. yang kini berganti nama menjadi PT Vale Indonesia (VI) Tbk. sejak 1968.

PT Inco resmi melepaskan kontrak karya di Torobulu usai pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Dalam aturan itu, perusahaan asing harus melakukan tahapan pelepasan konsesi kepada pemerintah daerah. Pada 2010, PT Inco menyerahkan seluruh konsesinya kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Konsel. Pemkab Konsel lalu mencari investor baru dan memberi izin kepada PT BI.

“Pada saat konsesi mau diperpanjang di Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, PT Inco harus melakukan penciutan. Bunyinya, perusahaan asing tidak boleh menguasai, harus melakukan tahapan pelepasan. Lepaslah itu barang,” kata Andi Makkawaru, Selasa, 29 April 2025.

Sore itu, Ambo, Satar, dan Kamaruddin, duduk menikmati teh manis hangat sambil bernostalgia tentang keberhasilan rumput laut di pesisir desa mereka, Kamis, 28 Februari 2025. Daeng Harman tiba-tiba nimbrung dalam nostalgia. Harman juga merupakan mantan petani rumput laut di Torobulu. Ia kini terpaksa menjadi awak kapal penangkap ikan yang disebut gae

Harman baru saja pulang dari Kabupaten Bombana, tempat berlabuhnya kapal ikan yang diikutinya. Ia pulang untuk berkumpul dengan anak dan istrinya menjalankan ibadah puasa pertama setelah melaut selama dua bulan. “Saya baru pulang dari Bombana. Pulang dulu, karena bulan puasa. Di sana kadang dua bulan baru pulang. Rencana dua hari berangkat lagi,” ujar Harman.

Harman, Ambo, Satar, dan Kamaruddin, mengalami nasib serupa. Peralihan pekerjaan tak serta-merta membuat ekonomi keluarga masing-masing menjadi stabil. Sebagai awak kapal gae, Harman mengaku hanya mendapatkan Rp1 sampai Rp2 juta per bulan. Begitu pula Ambo, Satar, dan Kamaruddin, yang sehari-hari melaut dengan perahu sendiri di sekitar desa. 

Ketiganya hanya mendapatkan penghasilan yang kadang tidak menutupi biaya solar untuk melaut. “Pokoknya sekarang ini, ada, tetapi istilahnya untung-untung pokok. Memang kita turun hari-hari, yang penting tidak sakit, tetapi begitu, kadang Rp50 ribu, Rp70 ribu kita dapat. Tidak menentu,” ujar Ambo.

Tak Ada Lagi Rumput Laut di Torobulu

Ambo, 37 tahun, mantan petani rumput laut di Desa Torobulu, Kecamatan Laeya, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel), Sulawesi Tenggara (Sultra).Ambo, 37 tahun, mantan petani rumput laut di Desa Torobulu, Kecamatan Laeya, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel), Sulawesi Tenggara (Sultra). Foto: La Ode Risman Hermawan/Kendariinfo. (28/2/2025).

Di teras rumah panggung Satar yang berdiri di atas laut, Ambo cerita kalau dia orang pertama membawa rumput laut ke pesisir Torobulu. Kebiasaan membudidayakan tanaman laut yang mereka sebut dengan agar dibawa Ambo dari daerah asalnya di Sulawesi Selatan (Sulsel). 

“Saya yang mula-mula meng-agar di sini. Dulu saya di Selatan (Sulawesi Selatan), kerja memang agar. Di mana-mana kerja agar,” kata Ambo dengan dialek Bugis yang masih kental.

Dia ingat betul waktu pertama kali membudidayakan rumput laut di pesisir Torobulu. Seluruh jenis bibit rumput laut yang tumbuh selalu subur. Tak pernah terserang bakteri atau hama. Kualitas rumput lautnya pun tersohor. “Dulu memang saya akui kalau agar-nya Torobulu, tidak pernah berlumut. Kalau di kampung, di Makassar, kadang berlumut. Di sini tidak,” ungkap Ambo.

Ambo cerita ketika awal-awal menikmati hasil panen rumput laut. Kala itu, harganya masih Rp6 ribu per kilogram. Di harga Rp6 per kilogram, Ambo sudah mampu memproduksi 500 kilogram rumput dengan penghasilan kotor Rp3 juta setiap kali panen. Seiring berjalannya waktu, harga rumput laut juga naik.

Ambo senang ketika harga rumput laut naik. Dia pun meningkatkan produksinya. Dalam sekali pembibitan, Ambo menebar 300 bentangan tali rumput laut ke pesisir Torobulu. Ketika menambah jumlah bibit, hasil panen rumput laut kering Ambo tak pernah kurang satu ton.

Kegembiraannya kian bertambah ketika harga rumput laut kering pernah mencapai Rp20 ribu per kilogram. Menurut Ambo, rumput laut yang dijual basah maupun kering, tetap sama-sama menguntungkan. Sebelum panen, Ambo bahkan sudah menjual puluhan bentangan tali rumput laut basah kepada petani lain untuk bibit.

Budi daya rumput laut di pesisir Torobulu memang sempat berakhir pada 2010 setelah PT BI melakukan eksploitasi nikel. Namun, masyarakat kembali membudidayakan rumput laut setelah PT BI angkat kaki pada 2016. Sialnya, sejak 2019, pengganti PT BI, PT WIN beroperasi seiring kebijakan hilirisasi nikel yang digalakkan Presiden Joko Widodo (Jokowi). 

Melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batu Bara, tambang nikel di Torobulu juga kian masif. Kembalinya aktivitas penambangan nikel lagi-lagi menghilangkan mata pencaharian petani rumput laut di pesisir Torobulu.

Satar mengaku terakhir kali membudidayakan rumput laut pada 2021. Tahun itu menjadi saat-saat terakhir rumput laut terlihat di pesisir Torobulu. “Waktu masih mengelola rumput laut tahun 2021 itu masih bagus perkembangannya. Ini bapak dulu banyak sekali rumput lautnya,” kata Satar menunjuk pria di hadapannya, Ambo.

Satar tampaknya ragu-ragu mengungkapkan penyebab gagalnya rumput laut di pesisir Torobulu, karena aktivitas penambangan nikel. “Sekarang rumput laut rusak, sudah tidak menjanjikan. Tidak tahu pengaruh apa. Apakah karena cuaca atau pengaruh tambang,” ujar Satar.

Namun, bagi Kamaruddin, perusahaan nikel merupakan biang keladi rusaknya rumput laut di desa mereka. Kamaruddin punya pengalaman ketika kembali mencoba membudidayakan rumput laut pada tahun 2022. Tahun itu, Kamaruddin sempat mencoba membudidayakan rumput laut dengan modal awal Rp1 juta, tetapi rugi total. 

Tanah merah dari galian perusahaan tambang nikel mengalir ke laut. Air keruh lalu mengenai rumput laut. Proses itu menyebabkan rumput laut tak berkembang, bahkan menjadi rontok dari talinya dan mati. “Tanah merah yang turun dari atas kapan kena rumput laut langsung putih, patah-patah, habis, tidak ada sisa,” jelas Kamaruddin.

Kamaruddin, 44 tahun, mantan petani rumput laut di Desa Torobulu, Kecamatan Laeya, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel), Sulawesi Tenggara (Sultra).Kamaruddin, 44 tahun, mantan petani rumput laut di Desa Torobulu, Kecamatan Laeya, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel), Sulawesi Tenggara (Sultra). Foto: La Ode Risman Hermawan/Kendariinfo. (28/2/2025).

Kamaruddin dan warga lainnya hanya menerima bantuan berupa dana community development (comdev) sebesar Rp100 sampai 500 ribu atas kerugian tersebut. “Dulu setiap bulan. Sekarang ini dua kali satu tahun,” ungkap Kamaruddin.

Kepala Bidang Budi Daya Dinas Kelautan dan Perikanan Sultra, Marjumagus, mengungkapkan rumput laut memang tanaman yang sangat sensitif. Rumput laut harus hidup pada arus tenang dan air yang jernih. Apabila terkena lumpur, rumput laut tidak akan berkembang bahkan mati. 

“Rumput laut itu sangat sensitif, apalagi dekat pertambangan. Secara teknik budi daya, rumput laut arusnya tidak boleh kencang dan keruh. Keruh saja tidak bisa, apalagi tercemar,” ungkap Marjumagus, Senin, 21 April 2025.

Infografis jumlah produksi rumput laut di Kabupaten Konawe Selatan (Konsel), Sulawesi Tenggara (Sultra).Infografis jumlah produksi rumput laut di Kabupaten Konawe Selatan (Konsel), Sulawesi Tenggara (Sultra). Desain: Chevin Breemer.

Marjumagus menyebut sentra utama budidaya rumput laut Konsel kini tersisa di Kecamatan Tinanggea, berjarak 25 kilometer di sebelah barat Desa Torobulu. Dia tak memungkiri budi daya rumput laut cukup terganggu dengan aktivitas pertambangan nikel di beberapa daerah. 

Pemberian bantuan bibit rumput laut dari Dinas Kelautan dan Perikanan Sultra saat ini hanya difokuskan pada daerah yang tidak memiliki pertambangan, khususnya di wilayah kepulauan, seperti Muna, Muna Barat, Wakatobi, Buton Tengah, dan Buton Utara.

Menurut Marjumagus, rumput laut sebenarnya komoditas unggulan di Sultra. Rumput laut jenis Eucheuma spinosum (Rhodophyta) dan Eucheuma cottoni atau Kappaphycus alvarezii dengan metode tali bentang sangat cocok dikembangkan di perairan Sultra. Biaya operasionalnya murah, jangkauan pasar luas, dan masa panen cukup singkat, 20 sampai 45 hari saja.

“Dulunya sumber rumput laut hebat seperti Konawe Utara. Sekarang kita tidak lirik lagi untuk diberikan bantuan. Padahal daerah sana itu dulu luar biasa. Konawe Selatan juga sudah mulai kita kurangi,” jelasnya.

Sumber Mata Air Terakhir di Torobulu

Infografis aktivitas ekskavator PT Wijaya Inti Nusantara (WIN) dekat sumber mata air terakhir masyarakat Desa Torobulu, Kecamatan Laeya, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel), Sulawesi Tenggara (Sultra).Infografis aktivitas ekskavator PT Wijaya Inti Nusantara (WIN) dekat sumber mata air terakhir masyarakat Desa Torobulu, Kecamatan Laeya, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel), Sulawesi Tenggara (Sultra). Desain: Chevin Breemer.

Selain potensi rumput laut yang hilang, kehadiran PT WIN juga mengancam sumber air bersih terakhir masyarakat Torobulu. Pada Oktober 2023, penampungan air bersih warga—cekdam tiba-tiba kering. Ayunia Muis (29) bersama 31 orang lainnya yang aktif dalam Aliansi Pejuang dan Hak Asasi Manusia (HAM) Torobulu protes kepada pemerintah desa.

Namun, mereka menerima jawaban keringnya air cekdam, karena musim kemarau. Padahal kemarau tahun sebelumnya, air cekdam tetap mengalir ke rumah-rumah warga. Mereka pun minta pertanggungjawaban. Untuk mengatasi masalah itu, pemerintah desa meminta izin kepada masyarakat agar perbaikan dan pendalaman galian cekdam menggunakan alat berat PT WIN.

Permintaan itu disetujui. Sembari memperbaiki dan memperdalam cekdam, PT WIN memberikan bantuan air kepada masyarakat yang terdampak. Satu tandon air berkapasitas 1.200 liter diberikan sekali seminggu. Jumlah itu sebenarnya tak cukup. Warga harus membeli satu tandon air lagi seharga Rp60 ribu untuk memenuhi kebutuhan dua tandon dalam seminggu.

Cekdam atau penampungan air bersih masyarakat Desa Torobulu, Kecamatan Laeya, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel), Sulawesi Tenggara (Sultra).Cekdam atau penampungan air bersih masyarakat Desa Torobulu, Kecamatan Laeya, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel), Sulawesi Tenggara (Sultra). Foto: La Ode Risman Hermawan/Kendariinfo. (28/2/2025).

PT WIN hanya memberi bantuan air kepada masyarakat yang setuju dengan operasi mereka. Anggota Aliansi Pejuang dan HAM Torobulu yang lantang menolak aktivitas PT WIN sama sekali tidak menerima bantuan. Mereka yang tergabung dalam Aliansi Pejuang dan HAM Torobulu harus membeli air bersih dua tandon dalam seminggu selama tujuh pekan.

“Kami beli air hampir dua bulan. Mereka dibantu satu tandon 1.200 liter per minggu. Sementara yang kontra dengan perusahaan tidak dikasih sama sekali. Bahkan untuk kami membeli, mereka tidak jual,” kata Ayu.

Setelah seminggu perbaikan dan pendalaman cekdam, air sempat mengalir, tetapi debitnya kecil. Saat warga mengecek proses perbaikan dan pendalaman, PT WIN nyatanya melakukan ore getting atau penggalian nikel dalam cekdam. “Alasannya materia harus dikeluarkan, karena pendalaman. Saya bilang, kalau memang mau dikeluarkan, materialnya tidak masalah, yang penting fokus pada perbaikan dan pendalaman. Bukan menambang dalam kolam,” ungkap Ayu.

Ayu keberatan dengan proses perbaikan cekdam yang seharusnya berfokus pada pendalaman. Namun, hingga datangnya musim penghujan, perbaikan cekdam tak kunjung selesai. “Sampai masuk musim penghujan waktu itu belum selesai-selesai. Ketika musim hujan, cekdam sekaligus menjadi kolam tadah air,” kesalnya.

Selama proses itu pula, Ayu harus membeli air bersih, karena tak menerima bantuan sama sekali dari PT WIN. Membeli kepada penyalur air yang sudah dikontrak PT WIN pun tak diberikan. Untungnya, satu dari 32 orang yang menolak penambangan punya mobil pikap. Mobil itulah yang digunakan untuk menyalurkan air bersih kepada Ayu dan lainnya.

“Dari 32 orang itu, ada teman yang ada mobil pikap. Dia kasihan inisiatif jual air kepada kami yang kontra terhadap perusahaan,” ungkap Ayu.

Cekdam merupakan sumber mata air terakhir bagi masyarakat Torobulu. Sementara dua mata air sebelumnya, Kali Engko dan PAM, sudah tak bisa digunakan akibat aktivitas penambangan nikel PT WIN. Ayu cerita kalau Kali Engko tepat berada di belakang SDN 12 Laeya yang dulunya sering dimanfaatkan masyarakat mengambil air dan mencuci. 

Kali Engko benar-benar kering dan hilang sejak PT WIN melakukan penambangan pada 2019. Sementara sumber air kedua, PAM, juga sudah tak bisa digunakan karena tercemar. PAM tak lagi digunakan sejak 2021 setelah PT WIN menambang di sekitar mata air. 

“Kali Engko sudah lama hilang sejak awal-awal penambangan PT WIN di belakang SD. Di situ sekarang ada air, tetapi dalam bekas galian-galian tambang yang tidak direklamasi. Tahun 2021, PT WIN kembali tambang itu PAM. Sebenarnya PAM masih ada, tetapi sisa kayak kolam yang kualitas airnya kita tahu bagaimana,” ungkap Ayu.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sultra, Andi Makkawaru, menyebut aktivitas penambangan nikel di sekitar mata air seharusnya tidak terjadi. Hal itu mengacu pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). “Secara aturan itu tidak boleh. Semua disuruh untuk menjaga mata air,” ujarnya.

Namun, dia mengaku DLH Sultra tidak punya kewenangan menindak perusahaan, karena pemberi izin serta pemegang rencana pengelolaan lingkungan (RKL) dan rencana pemantauan lingkungan (RPL) ialah Pemerintah Kabupaten Konsel. DLH Sultra hanya sebatas memberi saran hingga teguran kepada pemerintah kabupaten.

“Manakala kewenangan tidak dapat dilaksanakan setelah kita evaluasi, kami memberikan masukan, saran, pendapat, bahkan teguran, kepada pemerintah kabupaten terkait pengelolaan lingkungan hidup. Namun, kita pemerintahnya, bukan kepada perusahaan,” jelasnya.

Sementara itu, Hubungan Masyarakat (Humas) PT WIN, Kasman, menyebut seluruh aktivitas PT WIN legal dan masuk dalam wilayah izin usaha pertambangan (IUP). Masyarakat yang terdampak juga diberikan ganti rugi. Kasman mengaku PT WIN rutin melakukan reklamasi, memberi program corporate social responsibility (CSR), dan merekrut warga lokal sebagai pekerja.

“Kami tak mungkin bekerja tanpa legalitas. Kami juga berkontribusi lewat bantuan sosial, sumur bor, dan sembako,” kata Kasman.

Lawan Tambang Nikel Berujung Kriminalisasi

Ayunia Muis, 29 tahun, perempuan yang aktif dalam Aliansi Pejuang dan Hak Asasi Manusia (HAM) Torobulu.Ayunia Muis, 29 tahun, perempuan yang aktif dalam Aliansi Pejuang dan Hak Asasi Manusia (HAM) Torobulu. Foto: La Ode Risman Hermawan/Kendariinfo. (28/2/2025).

Delapan tongkang beserta kapal penariknya terlihat di sekitar dermaga pelabuhan (jetty) milik PT WIN, Selasa, 4 Maret 2025. Ada tongkang yang sedang mengantre di galangan kapal dan tengah laut. Ada pula tongkang berlabuh di dermaga memuat tanah berkandungan nikel yang ditumpahkan truk-truk besar secara bergantian.

Ambo mengeklaim tempat mengantrenya kapal-kapal itu merupakan lokasinya dulu menebar bibit rumput laut. “Jetty-nya di situ, di tempat saya pasang agar. Di tanjung ini, pas di jetty. Katanya, angkut semua agar-mu. Kita mau kasih sandar kapal,” ujar Ambo menirukan permintaan pihak perusahaan tambang nikel kepadanya.

Ambo sebenarnya tak diam ketika tempatnya mencari nafkah diganggu. Dia bersama warga di Lorong Bajo, Desa Torobulu, tiga kali berunjuk rasa, membawa perahu masing-masing, meninggalkan istri dan anaknya dua sampai tiga hari untuk menghentikan aktivitas di pelabuhan. Namun, Ambo dan warga lainnya kalah dari perusahaan tambang yang dikawal aparat kepolisian.

“Apa biar baku kenal dengan polisi, mau baku hantam. Mengalah saja, karena kita masyarakat biasa kasihan. Dia berpangkat. Mau kita lawan, salah-salah kita masuk penjara,” kata Ambo.

Dia juga kecewa pada orang-orang yang mengajak masyarakat untuk berunjuk rasa menolak aktivitas penambangan nikel, tetapi justru mencari keuntungan pribadi dari perusahaan. “Kayaknya di sini tobat, karena tiga kali dibegitukan. Misalnya ada lagi yang koordinator lapangan (korlap) datang sama kita. Sama-sama demo, begitu lagi modelnya. Itu korlap tidak pernah muncul kalau selesai aksi,” ungkapnya.

Upaya penolakan nelayan dan petani rumput laut turut dilemahkan dengan klaim perusahaan yang melakukan uji lab terhadap kadar air di pesisir Torobulu. Ambo menerima informasi kadar air di pesisir Torobulu tidak tercemar limbah tambang berdasarkan hasil uji lab. “Diperiksa kadar airnya. Dia (pihak perusahaan) bilang bagus kadar airnya. Istilahnya tidak ada pengaruh tambang. Pas saya pasang agar, jatuh-jatuh. Batangnya berlendir,” ungkap Ambo.

Atas kekalahan itu, Ambo kini bekerja sebagai nelayan dengan penghasilan tak menentu setiap harinya. Namun, perlawanan terhadap aktivitas pertambangan nikel di Torobulu belum sepenuhnya terhenti. Ayunia Muiz salah satu perempuan yang melawan. Ayu dan teman-temannya yang melawan berjumlah 32 orang. Mereka tergabung dalam Aliansi Pejuang dan HAM Torobulu. Jumlah yang sangat sedikit dibandingkan 3.132 jiwa seluruh masyarakat Torobulu.

Menurut Ayu, aktivitas PT WIN di Torobulu telah menuai protes sejak 2019. Selain menghilangkan mata pencaharian petani rumput laut, PT WIN menambang dekat permukiman dan belakang SDN 12 Laeya. “Pada 2019, perusahaan mengolah di belakang sekolah dasar, tepatnya SDN 12 Laeya. Akan tetapi, 2019 pihak pemerintah turun tangan, berusaha menyelesaikan konflik yang ada,” kata Ayu, Selasa, 28 Februari 2025.

Ayu dan 31 warga lainnya benar-benar protes ketika PT WIN menambang di sekitar kolam penampungan air bersih warga pada Oktober 2023. Ayu dan teman-teman seperjuangannya mempertanyakan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) kepada pihak perusahaan dengan menghentikan ekskavator PT WIN yang sedang mengeruk tanah, Senin, 6 November 2023, sekira pukul 08.45 Wita. 

Bukannya menunjukkan dokumen amdal, PT WIN justru melaporkan warga yang dianggap menghalangi aktivitas penambangan nikel. “Sebenarnya sudah banyak kali kami dikriminalisasi. Mulai dilaporkan di polsek, polres, dan polda. Akhirnya laporan di Polda Sultra, dua teman kami ditetapkan sebagai tersangka dan sampai meja pengadilan,” jelas Ayu.

Dua warga Desa Torobulu yang ditetapkan tersangka hingga menjadi terdakwa ialah Haslilin (41) dan Andi Firmansyah (43). Setelah melewati 14 kali persidangan di Pengadilan Negeri Andoolo, keduanya divonis bebas. “Kita tidak mewarisi bumi dan kekayaan alam ini dari nenek moyang, tetapi sesungguhnya kita hanya meminjamnya dari anak cucu kita. Jagalah agar kelak mereka juga bisa melihat hijaunya bumi pertiwi,” kata Ketua Majelis Hakim, Nursinah, membacakan putusan di PN Andoolo, Selasa, 1 Oktober 2024.

Namun, Haslilin dan Andi Firmansyah yang divonis bebas majelis hakim di PN Andoolo belum sepenuhnya lepas dari jeratan hukum. Ayu menyebut jaksa penuntut umum (JPU) mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung atas vonis bebas Haslilin dan Andi Firmansyah. “Kejaksaan melakukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) dan sampai hari ini hasilnya belum keluar. Kami masih terikat dengan proses-proses hukum,” ungkap Ayu, Jumat, 28 Februari 2025.

Kepala Seksi (Kasi) Intel Kejaksaan Negeri Konsel, Teguh Oki Tribowo, membenarkan jaksa penuntut umum (JPU) mengirimkan memori kasasi atas perkara nomor 58/Pid.Sus-LH/2024/PN Adl dan 59/Pid.Sus-LH/2024/PN Adl ke MA pada 15 Oktober 2024. Perkara nomor 58/Pid.Sus-LH/2024/PN Adl atas nama terdakwa Andi Firmansyah ditolak MA, karena tidak memenuhi syarat formil untuk diajukan kasasi.

Penolakan MA tertuang dalam surat pemberitahuan pengembalian berkas perkara kasasi elektronik nomor 170/PAN.5/HK.2.2/III/2025 tanggal 24 Maret 2025. Sementara perkara nomor 59/Pid.Sus-LH/2024/PN Adl atas nama terdakwa Haslilin masih menunggu jawaban dari MA.

Belum selesai persoalan hukum, PT WIN kembali mengeruk tanah tepat di samping pagar SDN 12 Laeya yang sejak awal ditolak warga. Jumat, 28 Februari 2025, terlihat dua lubang besar bersebelahan bekas galian ekskavator di samping pagar SDN 2 Laeya. Kedalaman dua lubang berbeda. Jarak galian dan pagar tembok hanya 50 sampai 100 sentimeter. 

Lubang pertama sedalam dua meter berisi tanah kemerahan. Di tengahnya terlihat tumpukan tanah merah dari galian itu. Sementara lubang kedua galiannya lebih dalam, sekira tujuh meter. Sebagian dasar dan dinding lubang kedua berisi tanah serta batuan lunak berwarna kuning kehijauan. Bagian lain pada dasar, dinding, dan atas lubang kedua, berisi batuan keras warna hitam serta tanah kemerahan.

Di arah timur SDN 12 Laeya yang berjarak 500 meter juga terdapat kolam penampungan air bersih warga Torobulu. Menurut Ayu, cekdam itu merupakan sumber air bersih satu-satunya bagi warga di Dusun III dan IV Desa Torobulu. “Dua dusun ini memang tidak bisa menggali sumur. Jadi tidak ada sumber mata air lain,” ujar Ayu.

Terdapat dua galian besar berisi air. Kolam pertama merupakan penampungan air bersih yang langsung dialirkan ke rumah-rumah warga. Sementara satu kolam lagi adalah penampungan cadangan air yang harus disaring lagi menuju kolam utama.

Terlihat dua batang pipa masing-masing berdiameter 12 inci dan 2 inci menjulur ke dalam kolam utama yang diikatkan bola pelampung. Pipa itulah penghantar air ke 260 rumah yang dihuni 308 kepala keluarga di Dusun III dan IV Desa Torobulu.

Dua kolam penampungan air bersih seluas lapangan sepak bola itu juga telah dikelilingi gundukan tanah merah bekas galian alat berat. Di atas gundukan tanah tak jauh dari kolam cekdam, berdiri tenda biru berukuran kecil. Tenda seperti itu biasa digunakan karyawan perusahaan tambang berteduh mengawasi operator ekskavator yang menggali bijih nikel.

Namun, pada Oktober 2023, Ayu harus membeli air bersih usai PT WIN menambang di sekitar kolam penampungan. Ayu terpaksa membeli air bersih, karena tak mendapatkan bantuan dari pemerintah desa dan perusahaan. Hal itu merupakan akibat penolakan aktivitas penambangan PT WIN. Jumlah yang sedikit juga membuat Ayu dan teman-temannya terkucilkan. Masyarakat Torobulu terbelah menjadi dua kelompok, penolak dan pendukung tambang. 

“Awal-awal perjuangan ini, saya selalu bilang, saya hanya bermasalah dengan pihak perusahaan, bukan dengan masyarakat,” ungkap Ayu. Namun, pembelahan masyarakat tak terelakan.

Penolakan Ayu sebenarnya cukup berdasar. Ayu dan teman-teman hanya mempertanyakan jarak penambangan dengan permukiman serta sarana pendidikan dan mempertahankan sumber air bersih. Soal air bersih, Ayu benar-benar khawatir. Ia cemas sumber air bersih tidak akan bertahan lama di tengah getolnya penambangan nikel di desanya. 

“Kami hanya mempertahankan hak-hak kami. Apakah sumber air yang ada hari ini bisa memenuhi atau mencukupi kebutuhan air sampai anak-anak cucu kami? Ini yang menjadi keresahan kami,” kata Ayu.

Kamis, 27 Februari 2025, Ayu menginisiasi nonton bareng (nobar) film dokumenter Republik Rente, episode ketiga serial Bloody Nickel karya koalisi masyarakat sipil dari Watchdoc, Jatam, Trend Asia, Transparansi Internasional Indonesia, YLBHI, dan Greenpeace. Pukul 21.00 Wita, di halaman rumah Hermina di Lorong Indra, Desa Torobulu, 20 warga menyaksikan film dengan saksama, ditemani pisang goreng dan seduhan kopi saset.

“Harapannya mungkin mereka lebih sadar. Perjuangkan ini untuk Torobulu yang lebih baik, agar Torobulu tidak hancur, karena dampaknya ke kita semua. Baik mendukung atau menolak penambangan, kita semua sebenarnya menjadi korban atas apa yang dilakukan perusahaan hari ini,” ungkap Ayu.

Ayu menginisiasi nobar untuk menggalang dukungan lebih banyak masyarakat yang melawan penambangan nikel di Torobulu. Menurut Ayu, banyak masyarakat yang sebenarnya menolak penambangan nikel, tetapi takut menyuarakannya secara terbuka. 

Lewat film dokumenter Republik Rente, Ayu ingin masyarakat di desanya sama-sama merasakan dampak negatif yang nyata dari penambangan nikel. Ayu mengatakan ia dan warga Torobulu hanyalah korban dari kerakusan perusahaan.

Artikel ini merupakan serial liputan yang didukung penuh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan Traction Energy Asia melalui program Akademi Jurnalis Ekonomi-Lingkungan (AJEL) Tahun Ke-3.

Post Views: 4

Read Entire Article
Rapat | | | |