Sulawesi Tenggara – Penyusunan revisi peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah (RTRW) Sulawesi Tenggara (Sultra) diduga akan melegalkan industri pertambangan pada daerah yang masuk ke dalam kategori pulau-pulau kecil, seperti Wawonii dan Kabaena. Hal itu terlihat dalam peta revisi RTRW Sultra yang baru.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sultra, Andi Rahman, mengatakan legalisasi dan perluasan izin industri nikel di Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan (Konkep), serta Pulau Kabaena, Kabupaten Bombana, jelas melanggar aturan.
Aturan yang dilanggar adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Prinsip pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan pun terancam diabaikan.
“Kegiatan tambang di pulau kecil jelas melanggar hukum dan mengancam ekosistem pesisir, sumber air, serta ruang hidup masyarakat yang sangat terbatas. Revisi RTRW seolah memberikan legitimasi pada aktivitas ilegal ini,” kata Andi, Jumat (30/5/2025).
Walhi Sultra menilai revisi RTRW adalah upaya melegalkan kerusakan lingkungan dan kepentingan pemilik modal. Kerusakan lingkungan akibat industri nikel skala besar sudah terlihat nyata di Kecamatan Kapoiala dan Morosi, Kabupaten Konawe. Sungai Konawe tercemar, sumber air bersih hilang, debu dan polusi udara mengancam kesehatan, hingga konflik sosial akibat perampasan lahan.
Dampak buruk industri nikel skala besar juga sedang dialami masyarakat di Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka. Sungai Okooko yang merupakan sumber utama pengairan sawah tercemar, menyebabkan penurunan penghasilan bagi petani. Ekspansi lahan Proyek Strategis Nasional (PSN) pun mengancam area persawahan, sehingga masyarakat lambat laun berhenti untuk bertani.
“Revisi RTRW ini adalah bentuk legalisasi penghancuran ruang hidup rakyat dan kerusakan lingkungan demi kepentingan modal. Ini bukan tata ruang untuk rakyat, melainkan peta jalan eksploitasi yang disusun oleh dan untuk oligarki tambang,” tegasnya.
Walhi yang aktif mengadvokasi masyarakat terdampak industri nikel di Sultra menyampaikan beberapa catatan dalam proses revisi RTRW. Andi menyebut tambang nikel yang telah beroperasi maupun sedang mengajukan izin di Pulau Kabaena dan Wawonii tetap dipertahankan bahkan dilegalkan dalam revisi RTRW, meskipun menentang aturan.
Banyak wilayah berstatus lindung diubah menjadi zona industri dan pertambangan, termasuk daerah tangkapan air dan hutan lindung yang mempercepat kerusakan ekologis. Proses revisi dilakukan secara tertutup, tanpa pelibatan komunitas terdampak, masyarakat adat, nelayan, dan akademisi independen.
Revisi RTRW juga memfasilitasi ekspansi kawasan industri dan smelter nikel, seperti di Morosi, Pomalaa, dan Mandiodo, yang telah terbukti menyebabkan pencemaran udara dan air, serta konflik sosial.
Revisi RTRW dinilai cacat secara prosedur dan substansi, serta bertentangan dengan berbagai regulasi nasional tentang perlindungan lingkungan, pulau-pulau kecil, dan hak masyarakat lokal. Olehnya itu, Walhi Sultra meminta pemerintah dan DPRD mengkaji ulang serta melibatkan warga dan masyarakat sipil dalam proses pembahasan RTRW.
“Kami meminta Kementerian ATR/BPN tidak mengesahkan dokumen tata ruang yang bermasalah ini. Jika revisi ini tetap dipaksakan, maka krisis ekologis di Sultra akan semakin parah. Pulau-pulau kecil hancur, konflik sosial meningkat, dan rakyat terus dikorbankan atas nama investasi,” tutupnya.
Post Views: 49