Konawe Selatan – Direktur Pusat Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (Puspaham) Sulawesi Tenggara (Sultra), Kisran Makati, menilai konflik agraria antara warga dan PT Marketindo Selaras (MS) di Kecamatan Angata, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel), bukan sekadar sengketa lahan. Dia menyebut keberpihakan terhadap masyarakat lokal yang menjaga tanah dan lingkungan dari ekspansi korporasi menjadi tantangan sebenarnya.
“Kasus PT MS bukan semata soal sengketa lahan. Namun, kasus ini menjadi ujian nyata keberpihakan kita, apakah pada masyarakat yang menjaga tanah dan ruang hidupnya atau korporasi pelanggar hukum,” ujar Kisran, Jumat (13/6/2025) lalu.
Dia menjelaskan konflik agraria antara petani dan korporasi di Angata telah berlangsung selama dua dekade. PT MS merupakan penguasa lahan yang sebelumnya dikelola PT Sumber Madu Bukari (SMB). Namun, PT SMB dinyatakan wanprestasi setelah gagal membangun pabrik gula dan perkebunan tebu pada 2003.

Secara tidak lazim, lahan kemudian dialihkan dari PT SMB kepada PT Bumi Makmur Perkasa (BMP) lalu akhirnya dikelola PT MS yang secara sepihak mengganti komoditas tebu menjadi sawit tanpa prosedur legal. Kisran pun menduga PT MS belum mengantongi izin usaha perkebunan (IUP) maupun hak guna usaha (HGU).
“Salah satu paling krusial adalah dugaan PT Marketindo Selaras belum mengantongi IUP maupun HGU yang sah,” jelasnya.
Dugaan pelbagai pelanggaran hukum PT MS makin terlihat setelah memanfaatkan warga sebagai tameng untuk memaksakan aktivitasnya, sehingga memperkeruh konflik horizontal di Angata. Buntut konflik horizontal yang berhasil diciptakan PT MS menyebabkan petani berinisial J (42) dan T (45) menjadi korban pembacokan pada Jumat (6/6), dua pekan lalu.
“Dugaan perusahaan memanfaatkan warga sebagai tameng sosial memperkeruh konflik horizontal dan berisiko menutupi inti persoalan sebenarnya, yakni konflik vertikal antara warga dan korporasi,” ungkapnya.
Belum lagi penyelesaian hukum yang hanya menyasar pelaku lapangan tanpa menyentuh aktor struktural, baik pihak korporasi maupun birokrasi pemberi izin bermasalah. Hal itu dikhawatirkan akan memperpanjang siklus ketidakadilan dan konflik yang terjadi.
Kebijakan Bupati Konsel, Irham Kalenggo, melalui Surat Keputusan Nomor: 50081/2741 tertanggal 10 Juni 2025 tentang Penghentian Sementara Aktivitas PT MS juga dikhawatirkan tidak menyentuh akar persoalan. Meski begitu, Kisran menilai kebijakan pemerintah daerah tetap perlu diapresiasi. Respons cepat pemerintah daerah menyikapi ketegangan dan kekerasan di lapangan merupakan langkah tepat.
Permintaan damai yang ditempuh pemerintah memberi juga ruang penyelesaian nonkekerasan. Instruksi agar dilakukan koordinasi antara masyarakat, aparat, serta pihak perusahaan, juga membuka peluang dialog yang lebih inklusif. Menurut Kisran, keputusan itu titik penting dari awal menuju penyelesaian konflik agraria yang telah berlangsung lama.
“Keputusan penghentian ini bukan hanya bentuk keprihatinan atas jatuhnya korban dalam eskalasi konflik di lapangan. Namun, sinyal keberpihakan awal pada warga yang selama ini mempertahankan tanah dan ruang hidup mereka dari ekspansi korporasi,” katanya.
Namun, keputusan penghentian aktivitas sementara perlu dikawal dengan serius agar tidak hanya sebagai simbol politik sesaat. Olehnya itu, Puspaham Sultra mendorong audit menyeluruh terhadap legalitas, izin, dan status PT MS, termasuk rantai penguasaan lahan PT SMB dan PT BMP. Selain itu, perlu dilakukan pemulihan hak atas tanah warga terdampak dan korban kekerasan, penegakan hukum secara tegas, dan reformasi tata kelola agraria di Konsel.
“Kami merekomendasikan pembentukan tim terpadu penyelesaian konflik agraria independen, pendokumentasian sejarah konflik sebagai basis argumen hukum dan advokasi kebijakan publik. Pemantauan partisipatif yang melibatkan warga dan organisasi masyarakat sipil secara aktif juga perlu dilakukan,” pungkasnya.
Oknum Diduga Karyawan Perusahaan Perkebunan di Konsel Bacok Warga Angata, Polisi Selidiki
Post Views: 79