Sulawesi Tenggara – Koalisi Sulawesi Green Voice mendorong prinsip environmental, social, and governance alias ESG sebagai pedoman pengelolaan sumber daya alam. Pemberlakuan prinsip itu dipandang krusial untuk merekonstruksi ulang penataan ruang pemanfaatan kekayaan bumi agar lebih berbasis pada keberlanjutan ekologis.
Selaku bentuk dorongan, pumpunan lima organisasi pemerhati lingkungan menyerahkan dokumen kajian analisisnya kepada Wakil Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra), Hugua, untuk menjadi panduan tata kelola kekayaan alam. Terutama menyangkut sektor pertambangan dan perkebunan kelapa sawit yang berdampak erat terhadap kondisi lingkungan.
Hugua menyampaikan bakal menjadikan usulan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Pusat Kajian dan Advokasi Hak Asasi Manusia (Puspaham), Teras, Komdes, dan Rumpun Perempuan Sultra (RPS) sebagai landasan merevisi rencana tata ruang wilayah (RTRW) seperti yang sedang berproses.
“Ini akan jadi pedoman pemerintah,” ujar Hugua saat menerima penyerahan dokumen dari Ketua RPS, Husnawati, pada kegiatan Multi Stakeholder Forum bertajuk Mendorong ESG dalam Tata Kelola SDA di Kota Kendari, Kamis (22/5/2025).
Direktur Puspaham, Kisran Makati, menjelaskan konsep ESG akan menuntun secara teknis pengelolaan sumber daya alam yang bersandar pada kepentingan masa keberlanjutan lingkungan dengan menyertakan partisipasi kolektif masyarakat lokal. Sederhananya, ESG merupakan prinsip atau standar tata kelola bisnis yang merangkul kepentingan lingkungan dan sosial.
Dalam aspek lingkungan, pengelolaan bisnis harus mempertimbangkan kelestarian dengan meminimalisir segala pemicu kerusakan. Di sisi sosial, perusahaan menekankan tanggung jawab etis menjaga hak kelangsungan lingkungan hidup. Kata Kisran, praktik bisnis pertambangan saat ini masih bersifat eksploitatif.
Lazim menyingkirkan ruang hidup penduduk sekitar tanpa menyiapkan pemberdayaan jangka panjang. Ambisi pengerukan tanah nikel merampas sumber penghidupan akibat tindakan penggundulan hutan serta pencemaran sungai dan laut. Sektor pertanian dan perikanan paling santer terdampak.
Aktivitas penambangan menyisakan jejak kerusakan lingkungan yang sulit dikelola seperti sediakala. Bagaimana tidak, fase pemulihan daya rusaknya membutuhkan waktu lama dan dukungan biaya besar. Kisran menyebut salah satu dari sekian kasus terjadi di kawasan pertambangan nikel Blok Mandiodo, Konawe Utara.
Bekas galian tambang meninggalkan hamparan lubang menganga sedalam puluhan meter tanpa perusahaan memenuhi kewajiban reklamasi. Kawasan pertambangan di Mandiodo mencakup wilayah administrasi Desa Mandiodo, Mowundo, Tapunggaya, dan Tapuemea, Kecamatan Molawe. Dulu, mayoritas masyarakat di empat desa tersebut hidup sebagai petani dan nelayan.
“Kami selama lebih dari dua tahun menemukan betul-betul Mandiodo itu dalam kondisi memprihatinkan. Masyarakat itu nggak bisa lagi bertani atau melaut. Lahan pertanian mereka dalam keadaan putus total,” katanya.
Penambangan di kawasan Blok Mandiodo relatif mulai masif beroperasi sejak 2009 tatkala PT Antam memenangkan gugatan terhadap 11 izin usaha pertambangan (IUP). Setelah itu, perusahaan plat merah tersebut menggandeng PT Lawu Agung Mining (LAM) buat kerja sama operasional (KSO) melibatkan puluhan kontraktor tambang untuk mengeksploitasi bijih nikel di atas lahan konsesinya seluas 16.900 hektare.
Aktivitas penambangan kian sesak dijalankan seiring kedatangan sejumlah perusahaan selepas mengantongi izin operasi dengan luas lahan beragam. Menurut catatan Ombudsman, sebelumnya terdapat 11 IUP di kawasan Blok Mandiodo. Kehadiran tambang memicu terjadinya deforestasi ratusan hektare hutan bahkan menghabisi lahan pertanian yang dikelola warga secara turun-temurun.
Perambahan area hutan makin meluas akibat adanya tindakan penambangan ilegal dengan modus penjualan menggunakan dokumen terbang alias dokter. Aktivitas itu jamak dilakukan diduga ditengarai lemahnya pengawasan pihak berwenang. Ambisi penggalian ore nikel tak terkendali sampai menutup seluruh lahan untuk ditanami tumbuhan agrikultur. Akibatnya, tradisi kehidupan bertani terbilang punah. Ditandai dari tiadanya masyarakat yang mendulang hidup sebagai petani.
Dampak penambangan juga mencemari ekosistem laut wilayah tangkap strategis nelayan. Aliran lumpur limbah bekas galian tambang mengubah warna air laut keruh cokelat kemerahan. Hasil tangkapan nelayan terus melorot drastis. Area tangkap harus berpindah ke tempat lebih jauh dengan merogoh biaya relatif besar yang tidak sebanding perolehan jumlah tangkapan. Kebanyakan dari mereka terpaksa beralih menjadi pekerja tambang, sebab melaut tidak lagi menjamin penghidupan.
Keberadaan tambang tak pelak mengubah perilaku hidup masyarakat. Kehidupan bertani dan melaut menghilang. Hampir semua mereka mengandalkan sumber penghidupan melalui sektor pertambangan termasuk dari dana kompensasi perusahaan yang lumrah disebut “uang debu.”
Sampai kemudian pada 2023 mencuat kasus korupsi pertambangan di Blok Mandiodo melibatkan PT Antam bersama perusahaan mitra bisnisnya yang merugikan negara sebesar Rp5,7 triliun. Setelah itu, aktivitas penambangan mandek. Masyarakat kehilangan pekerjaan. Penyaluran bantuan sosial perusahaan pun berhenti. Mereka akhirnya kelabakan untuk memenuhi kebutuhan hidup lantaran tak punya usaha alternatif.
“Saya masuk bulan lalu terakhir rupanya masyarakat itu sudah banyak yang migrasi. Ada yang ke Morowali; Obi, Maluku; Kolaka Utara; atau ke lokasi kerja terdekat,” ujar Kisran.
Kerusakan lingkungan berimbas pada masalah ekonomi menjadi beban berlipat bagi entitas perempuan kata Husnawati. Selain melakoni peran sebagai ibu, mereka juga harus menguras tenaga mengais nafkah demi memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Husna mengatakan dampak pertambangan merusak lahan pertanian memaksa perempuan melepaskan ketergantungannya pada suami.
“Dulunya bisa menanam sayur di sekitar mereka. Bisa dengan mudah mendapatkan sumber air. Namun, dengan adanya kerusakan penambangan mengubah kondisi hidup mereka,” kata Husna.
Tata kelola industri ekstraktif yang meminggirkan ruang hidup orang lokal ikut dialami warga kawasan pabrik smelter PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) dan PT Obsidian Stainless Steel (OSS) di Konawe. Wilayah lingkar operasinya meliputi Kecamatan Morosi, Bondoala, Kapoiala, dan Motui. Paparan polusi debu batu bara dan limbah kimia bekas produksi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) mencemari lahan pertanian hingga ratusan hektar tambak sebagai lumbung penghidupan pokok mayoritas warga.
Wilayah itu dulunya terkenal menjadi urat nadi perekonomian Kabupaten Konawe di sektor perikanan tambak dengan komoditas budidaya ikan dan udang. Semasa produktif, warga bisa meraup hingga ratusan juta rupiah berkat hasil panen sebanyak ukuran ton. Waktu panen dilakukan tiap 3 – 4 kali setahun.
Lamun, sejak dua pabrik pengolahan nikel beroperasi, warga kerap mengalami gagal panen. Ratusan ekor ikan dan udang acap ditemukan mati massal mengapung di permukaan air tambak. Produktivitas hasil budidaya tambak menurun setelah Sungai Motui, sumber pengairan tercemar limbah cair yang dibuang PLTU captive (industri) PT OSS. Pembuangan limbah cair sisa produksi tersebut disalurkan lewat pipa besi yang terlentang di badan sungai.
Walhi Sultra melakukan uji sampel air dari lokasi pembuangan limbah dan sedimen tambak di Laboratorium MIPA Universitas Halu Oleo (UHO) pada Oktober 2024. Hasilnya ditemukan kadar logam berat kadmium (Cd) 0,0977 miligram per liter. Artinya merantuk ketentuan ambang batas baku mutu air Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Temuan lain terdapat kandungan tembaga (Cu) dengan kadar 0,0485 miligram per liter melebihi batas baku mutu diizinkan 0,02 miligram per liter.
Penurunan jumlah panen terjadi secara konstan, memaksa sebagian warga usia produktif menjual atau menutup tambaknya lalu beralih menjadi pekerja industri. Sementara warga kalangan tua harus bertahan dengan segala keterbatasan hidup. Perekonomian memburuk diperkeruh hasil tambak makin tersungkur jatuh.
Walhi menemukan warga di kawasan industri smelter Konawe mengalami kemiskinan secara signifikan seiring terjadinya kerusakan sumber penghidupan utamanya di sektor pertanian dan perikanan.
Merujuk laporan Badan Pusat Statistik (BPS) 2024, persentase penduduk miskin di beberapa daerah kawasan pertambangan nikel di Sultra meningkat kurun waktu tiga tahun terakhir. Di Kabupaten Konawe misalnya, persentase penduduk miskin pada 2022 sebesar 12,57 persen. Meningkat setahun sesudahnya menjadi 13,02 persen. Tahun 2024 kembali meningkat sebesar 13,25 persen.
Sementara di Kolaka, penduduk miskin pada 2022 mencapai 11,51 persen, menjadi 11,80 persen pada 2023. Turun menipis pada 2024 menjadi 11,67 persen. Sementara penduduk miskin di daerah pemilik IUP terbanyak Konawe Utara pada 2022 sebesar 13,72 persen. Melompat dua tahun berikutnya masih menyentuh angka 13,17 persen.
Merujuk analisa Celios, kegiatan industri nikel berdampak negatif terhadap sumber penghidupan masyarakat lokal di sektor pertanian dan perikanan, baik dalam nilai tambah ekonomi maupun pendapatan petani serta nelayan. Industri nikel menyebabkan kerugian nilai tambah ekonomi lebih dari Rp6 triliun dalam 15 tahun. Di sisi pendapatan petani dan nelayan terjadi kerugian sebesar Rp3,64 triliun selama 15 tahun.
Kerusakan pada ekosistem hutan serta perairan sangat merugikan masyarakat, karena mereka telah bekerja berdampingan dan bergantung pada pelestarian lingkungan. Antisipasi terhadap dampak buruk industri nikel dapat dilakukan di antaranya dengan mekanisme pelaporan ESG (lingkungan, sosial, dan tata kelola). ‘
Laporan ESG dapat membantu pemerintah memantau kegiatan bisnis yang merugikan masyarakat dan lingkungan. Penerapan kewajiban pelaporan ESG mesti diikat melalui ketentuan regulasi agar memastikan perusahaan nikel beroperasi memiliki standar yang lebih hijau dan dapat diawasi.
Post Views: 38