Menambang Tanpa IPPKH, Substansi Izin dan Implikasi

1 month ago 46

Sedikit atau banyak, setiap deru aktivitas pertambangan akan berdampak pada keseimbangan lingkungan. Fenomena ini memperhadapkan antara pertimbangan ekologis dan ekonomis. Ialah merupakan kewajiban untuk menjaga kelestarian lingkungan, namun disisi lain penguasaan dan pemanfaatansumberdaya alam demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat patut mendapatkan atensi yang serius. Kekayaan alam membutukan pemanfaatan yang proper demi meningkatkan nilai tambah guna memenuhi hajat hidup orang banyak. Berdalil itulah maka keseimbangan dan kelestarian lingkungan seakan harus mengalah, meskipun tidak serta merta dibiarkan begitu saja. Disinilah peran negara men-sketsa sistem pengendalian yang proporsional untuk menjembatani dua dimensi yang saling berfregmentasi ini, pemanfaatan sumberdaya alam sebagai upaya peningkatan nilai guna dan keseimbangan serta kelestarian lingkungan. Ringkasnya, kekayaan alam dapat saja diekploitasi, namun kelestarian lingkungan wajib dipertahankan dan dijaga. Dampaknya harus ditekan dan penjaminan mendapatkan lingkungan yang baik dan lestari secara berkelanjutan tidak dapat ditawar. 

Nampaknya konsepsi idel tersebut tidak benar-benar berdentum di Sulawesi Tenggara. Aktivitas pertambangan di Bumi Anoa memang lagi ”kencang-kencangya”. Tak terhitung berjubelnya IUP, perusahaan dan lokasi hutan yang menjelma menjadi kubangan penggalian ore nikel. Sejumlah bencana alam terjadi dengan gelombang dan velume besar yang “konon” ditengarai sebagai akibat aktivitas tersebut. Dampak telah terjadi, aktivitas tak terhenti. Paradigma kelestarian lingkungan masih terus diupayakan melalui serangkaian sistem yang ternorma dalam konstruksi perundang-undangan. diantaranya keharusan untuk memenuhi izin tertentu sebagai instrumen pengawasan holistik secara prosedur. Namun beberapa saat lalu, perhatian halayak Sultra tersita oleh pemberitaan perihal adanya Perusahaan tambang yang ternyata tidak mengantongi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Singkatnya, IPPKH diberikan oleh pemerintah (Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan) sebagai alas perkenaan penggunaan kawasan hutanlindung maupun hutan produksi bagi kepentingan pembangunandi luar kegiatan kehutanan, misalnya: pertambangan, energi, infrastruktur, telekomunikasi, dan lain-lain. melalui IPPKH, perusahaan tambang dapat melakukan aktivitas di kawasanhutan tanpa kehilangan status hukum hutan tersebut (lahan tetapberstatus kawasan hutan). Sebenarnya segala aktivitas non kehutanan dilarang dikawasan hutan. Jika larangan tersebutterjadi, apa keadaan hukum berkenaan dengan fenomenatersebut. Tulisan ini mengulas apa sebenarnya substansi dari izinsecara umum dan secara khusus berkaitan dengan IPPKH. Selanjutnya, apa implikasi hukum yang terjadi jika aktivitastambang terus jalan tanpa IPPKH? Bagaimana korespondensianalisisnya? Ini yang akan dibahas. 

IPPKH: Karakteristik Substansi Izin dalam Norma Hukum.   

Sebagai subjek hukum pemegang kendali penguasaan terhadap bumi air dan kekayaan alam, pemerintah diberikan fungsi regulator, yaitu kompetensi untuk memastikan pengaturan yang baik guna mengakomodir kepentingan lintas dimensional. Pemerintah bertanggungjawab untuk menciptakan keteraturan perihal pemanfaatan sumberdaya alam melalui pe-norma-an “perintah dan larangan” dalam perundang-undangansecara materil. Tidak berhenti pada normcreating funtie, pemerintah juga menampuk fungsi pengawasan secara komprehensif. Hal ini didasarkan pada kerangka pikir utama yakni tidak diperkenankan pengalihan bentuk lingkungan yang berujung dampak kerusakan terhadap keseimbangan lingkungan terlebih jika dampaknya berkelanjutan. Sederhana, menjaga lingkungan dimaknai sama dengan mejaminkan hak mendapatkan penghidupan yang layak secara asasi. Korespondensi ini direkam jelas pada konsideran UU No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam rumusan tersebut, Kepentingan untuk lingkungan hidup yang baik merupakan irisan hak asasi manusia sekaligus juga bermuatan panduan pembangunan ekonomi nasional yang berwawasan lingkungan hidup. Olehnya, meskipun sejatinya aktivitas pertambangan pasti bersinggungan dengan kelestarian lingkungan dalam jangka panjang, namun pemanfaatan sesuai paradigma “berwawasan lingkungan berkelanjutan” dianggap sebagai dalil pembenar yang logis dan indikator ideal, sembari menegaskan senyawa “larangan” mengganggu kelestarian lingkungan yang tidak terdestrupsi. 

Berkenaan dengan itu, izin menjadi ibarat transformasi sistematis untuk memperkuat bentuk toleransi terhadap“larangan” dimaksud. Dalam konteks adanya aktivitas yang diperkirakan secara terukur dapat memberikan dampak negatif terhadap keseimbangan daya dukung dan daya tampung lingkungan, izin hadir untuk menetralisasi konstruksi “larangan” menjadi “pembolehan”.  Olehnya mengapa selanjutnya alas izin berkonotasi sebagai kewajiban prosedur untuk melakukan serangkaian aktivitas tertentu yang akan merubah kondisi lingkungan. Semata untuk mensingkronisasikan antara potensi kegentingan kondisi lingkungan akibat kegiatan tersebut dan perspektif kepentingan peningkatan nilai sumberdaya alam melalui pemanfaatannya pada orientasi ekonomi nasional. Termasuk dalam aktivitas pertambangan dikawasan hutan. Konsepnya, pertambangan dikawasan hutan akan merusak lingkungan. Namun demi peningkatan pemanfaatan yang simultan dengan pertumbuhan ekonomi nasional, maka aktivitas diatas lahan hutan “dibolehkan”. Instrumen untuk menegaskan pembolehan tersebut diantaranya Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan. 

Dari aspek nomenklatur, IPPKH menggunakan embel-embel “izin”. Dalam diskursus hukum khususnya pada lapangan hukum administrasi negara, konotasi izin memiliki coraknya sendiri. Untuk mendeteksi sifat itu, perlu untuk diuraikan substansi dalam setiap instrumen yang mewakili keberadaan hukum maupun perundang-undangan. Dibeberapa tulisan saya sebelumnya secara singkat telah dikupas bahwa hukum mengandung senyawa substansi tertentu dalam pandangan para ahli. Hans Kelsen misalnya mengkualifikasi bahwa normahukum pada dasarnya berisi perintah (gebot), larangan (verbot), dan pembolehan (erlaubnis). Kurang lebih sama dengan itu, Hans Nawiasky yang mengakui 3 kompenen substansi tersebutnamun dengan adanya penegasan bahwa hukum tidak sajamelimitasi tetapi juga menjamin pemberian ruang kebebasan. Sudikno Mertokusumo menjelaskan detil implikasi sistemikdari 3 karakter isi hukum tadi bahwa Perintah itu harusdilakukan sedangkan Larangan berarti tidak boleh dilakukan, disisi lain Pembolehan hanya dapat dilakukan jika memenuhisyarat. Apabila semua ketentuan dan prosedur sudah “tuntas”, maka wujud pembolehan tersebut dituangkan dalam kehadiranizin. Dalil tersebut sebagaimana doktrin Utrecht yang menegaskan bahwa Izin adalah suatu persetujuan dari penguasaberdasarkan undang-undang untuk dalam keadaan tertentumenyimpang dari larangan yang berlaku umum. Bertalian dan saling menguat dalam konteks izin, Indroharto menjelaskanbahwa Izin merupakan perbuatan hukum administrasi negara yang bersifat konstitutif karena melahirkan suatu keadaanhukum baru, yaitu keadaan boleh melakukan sesuatu yang semula tidak boleh. Dengan demikian, izin mengubah status hukum dari semula dilarang menjadi diperbolehkan.

Pada konstruksi doctrinal lainya, Van Wijk/Willem Konijnenbelt mengungkap sisi sistemik dari keberadaab izin. Izin (vergunning) merupakan instrument pembolehan bersyaratterhadap perbuatan yang pada prinsipnya dilarang oleh undang-undang namun dapat dilakukan bila pemohon memenuhi syarattertentu. Dari konsep ini, izin bukan hanya memberi hak kepadapemohon, tetapi juga menjadi alat pengendalian pemerintahterhadap aktivitas masyarakat atau badan usaha. Pada dimensilainya, izin juga berorientasi pada keterpenuhan fungsimonitoring. Pendapat ini dapat dipijaki dari deskripsi PhilipusHadjon yang menegaskan bahwa izin adalah media yuridisgua memastikan kepentingan umum tetap terlindungi.Konfigurasi materi fungsi izin tidak terbatasi pada saatpembolehan tetapi bergulir hingga terpenuhinya fungsipengawasan administrative yang memunculkan skemapengawasan melekat sebagai rangkaian legal reasoning yang patut.  

Bilmana disinkronkan dengan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) maka dapat ditafsirkan secara sistematis bahwakegiatan pertambangan pada Kawasan hutan sejatinya dilarang, namun dengan kehadiran Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutanmaka larangan yang diterbitkan Menteri yang membidangiurusan tersebut maka larangan menambang dikawasan hutanmenjadi boleh, tentu dengan memperhatikan batasan luas, jangka waktu tertentu serta aspek kelestarian lingkungan. Makadari itu, berdasarkan uraian sifat substansi norma hukum dan dengan memperhatikan konstruksi rumusan pasal 38 ayat (3) uuNo 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, aktivitas pertambangandiatas Kawasan hutan bermakna sebuah”larangan. Disisi lain, IPPKH juga berfungsi sebagai media pengendalian pelaksanaanaktivitas pertambangan dikawasan hutan sekaligus sebagaiinstrument untuk memaksimalkan inherent control pemerintahterhadap aktivitas pertambangan dikawasan hutan tersebut. Olehkarena itu, peran sentral IPPKH tidak saja sekedar bermaknaformalistic administrative melain juga menumbuhkanmenggambarkan peran negara sebagai pihak yang mengembanfungsi penguasaan sumberdaya alam. Pokok pikiranya terletakpada pemanfaatan yang diawasi agar tidak melenceng daritujuan pemanfaatan yaitu peningkatan nilai ekonomi secaranasional yang berwawasan lingkungan. Pungkasnya, jikaaktivitas pertambangan terhelat pada Kawasan hutan tanpamemiliki IPPKH, maka kegiatan tersebut menjadi“larangan/dilarang”. Dalam kaidah hukum, larangan pastidiiringi sanksi untuk mengusung tujuan evektifitas. Tanpa saksi, suatu aturan tergolong sebagai Lex Imperfecta, ibarat pisautumpul yang berguna, norma tersebut hanya berisikan perintahdan larangan namun tidak ditunjang dengan instrument penguatkeberlakuan. Mengapa demikian? Pembahasan ini akandiuraikan selanjutnya. 

Bayang-Bayang Sanksi Pertambangan Dikawasan HutanTanpa IPPKH

Halayak public memahami sanksi sebagai media penghakiman, akibat jika hukum dilanggar. Hal ini tidaksepenuhnya keliru mengingat pemahaman Masyarakat dibentukdari perspekktif aplikatif yang selama ini diamatinya. Padananini seirama dengan tafsir Sudikno Mertokusumo bahwa sanksimerupakan konsekuensi negative dari pelanggaran hukum. Demikian pula Hans Kelsen dalam The Pure Theory of Lawmeyakini bahwa sanksi merupakan tekanan identic dari hukum. Namun disisi lain, anotasi fungsi dari sanksi diproposisikan pada konsistensi kepatuhan dan tergentuknya budaya hukum yang diharapkan. Sanksi diasosiasikan untuk memberikan kepastianhukum dengan efek kepatuhan, selain itu sanksi juga mengusungparadigma restorative yakni memperbaiki keadaan ataumemulihkan kerugian akibat pelanggaran. Konsep ini diusungdalam teori reintegrative shaming oleh Braithwaite dimanasanksi dalam perspektif restoratif berfungsi sebagai shaming yang konstruktif, bukan destruktif. Karakteristik utama sanksidalam pandangan ini adalah pencegahan sosial melaluipemulihan hubungan bukan pemisahan pelaku dari komunitas.Kurang lebih sama dengan pandangan tersebut, Howard Zehrdalam pandangan Restorative Justice menanggap sanksidipahami sebagai paradigma restoratif bukan untuk menghukummelainkan untuk memulihkan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat. Fungsi sanksi adalah menyadarkan pelaku atasperbuatannya dan memberi kesempatan untuk memperbaikikerugian yang ditimbulkan.

Dilapangan hukum pidana, sanksi diilustrasikan memilikiperanan fungsional lain yang tidak saja menghakimi dan merestorasi. Moeljatno menguraikanya efek sanksi dalamterminology Von Psychologischen Zwang  yang tidak saja beradapada batasan paksaan fisik melainkan tekanan batin/psikologis. Pada pandanganya, daya berlaku hukum pidana tidak hanyakarena adanya ancaman pidana (coercive order) tetapi juga karena adanya rasa takut, rasa malu, rasa bersalah, dan kesadaran moral dalam diri individu. Ancaman pidana tidak sajamenghalangi pelaku untuk mengulangi kejahatan. Disisi lain, sanksi pidana juga menekan kemungkinan pihak lain melakukanpelanggaran yang sama. Daya sanksi berlaku preventif bukansaja pada pelaku melainkan pada subjek hukum yang mungkinsaja melakukan. Sehingga dengan demikian, konsistenmenegakan penindakan sanksi pidana justru berorientasi pada membentuk kesadaran psikologis sehingga pelanggaran tidakterjadi kembali. 

Berkenaan dengan aktivitas pertambangan dikawasanhutan, ketentuan pasal 38 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan tidak berdiri sendiri. Pasal aquobermakna penentuan syarat pembolehan sedangkan ketentuanlaranganya tersemat dalam pasal 50 ayat (3) huruf g Undang-Undang tersebut. Bahkan Pasal 50 ayat (3) huruf g inimenjabarkan secara detil perihal jenis perbuatan yang dilarangdalam aktivitas pertambangan diantaranya ialah penyelidikanumum, eksplorasi dan eksploitasi bahan tambang dikawasanhutan. Keharusan mengantongi izin dari Menteri mengkombinasikan dua hal, pertama sebagai syarat mutlakpembolehan dan kedua landasan izin terhadap perbuatan yang sejatinya dilarang (melakukan kegiatan pertambangandikawasan hutan tanpa IPPKH). Ancaman pidana dari keduarumusan pasal diatas ialah pidana penjara selama 10 tahun dan denda paing banyak Rp. 5.000.000.000 (Lima Miliar) yang dimuat dalam pasal 78 ayat (6). Jika lengkap dibaca, ketentuanpasal 78 ayat (6) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan menggunakan metode kumulatif. Model semacam ini tergambarkan dari penggunaan frasa “dan” pada rumusan ancaman pidananya. Dengan demikian, ancamanpidana terhadap pelaku kegiatan pertambangan dikawasan hutantanpa IPPKH tidak bisa diberlakukan salah satunya, melainkankeduanya. 

Secara singkat dapat saja dimaknai bahwa pembentuk UU memilih menggunakan metode kumulatif ini untukmemaksimalkan keberlakuan fungsi sanksi terhadap rumusanlarangan pada pasal 38 ayat (3) jo pasal 50 ayat (3) huruf g Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Bukan saja untuk menghakimi melainkan untuk mencegahterjadinya pelanggaran atas larangan melakukan kegiatanpertambangan dikawasan hutan tanpa IPPKH. Apabila berlandaspada elaborasi fungsi sanksi tersebut maka penegakan hukumatas ketentuan pidana pasal 78 ayat (6) Undang-Undang Nomor41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan seharusnya dimaknai tidakdimaknai sempit dalam perspektif pembalasan, melainkanmewujudkan fungsi sanksi dalam paradigma reintegrative shaming atau juga berasisoasi pada fungsi yang diyakini dalamparadigma Von Psychologischen Zwang. Memandulkanpemidanaan sebagaimana rumusan pasal 78 ayat (6) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bermaknasimilar dengan menunda tujuan hukum penentuan sanksiterhadap larangan melakukan kegiatan pertambangan pada Kawasan hutan tanpa IPPKH yang sejatinya berdiri pada upayauntuk memastikan kualitas daya dukung, daya tamping sertakelestarian lingkungan dapat dipatuhi secara konsisten, bukansaja pada pelaku materil melainkan juga bagi pihak-pihak yang berpeluang melakukan perbuatan yang sama. Terlebihkeberadaan instrument IPPKH sejatinya menegaskan fungsipengawasan melekat guna memastikan aktivitas pertambangantidak meninggalkan kerusakan lingkungan yang berkelanjutan, sekaligus menguatkan kepatuhan terhadap fungsi peranpemerintah dalam konteks penguasaan dan pemanfaatansumberdaya alam berbasis kelestarian lingkungan.

Opini: Pengacara, Jamal Aslan., SH., MH

Post Views: 33

Read Entire Article
Rapat | | | |