Bombana – Maria semakin sulit mendapatkan ikan sejak air laut di Desa Baliara, Kecamatan Kabaena Barat, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara (Sultra), menjadi keruh dan tercemar. Laut tercemar memaksa perempuan 51 tahun itu mendayung sampannya lebih jauh.
Pencemaran laut di Baliara terjadi sejak 2014 seiring masifnya penambangan nikel yang dilakukan PT Timah Investasi Mineral (TIM), anak usaha PT Timah Tbk., dan PT Trias Jaya Agung (TJA). Setiap kali hujan turun, tanah bekas galian tambang nikel bercampur air mengalir melalui kali dan berakhir di pesisir Baliara.
“Dulu biar jarum jatuh dilihat, sekarang sudah tidak bisa. Sendok saja yang jatuh ke laut, sekarang tidak kelihatan. Kalau sendok habis, terpaksa beli lagi,” ujar Maria.

Endapan lumpur sudah cukup membuat air laut menjadi keruh kemerahan sepanjang tahun. Air laut juga mengandung logam berat berbahaya, seperti amonia (NH3-N), nitrat (NO3-N), sulfida (H2S), raksa (Hg), kadmium (Cd), tembaga (Cu), timbal (Pb), seng (Zn), dan nikel (Ni).
Hasil penelitian Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sultra dan Satya Bumi pada air laut di pesisir Baliara tahun 2024, kandungan amonia mencapai 0,377 miligram per liter, nitrat 0,12 miligram per liter, sulfida 0,079 miligram per liter, raksa 0,0022 miligram per liter, dan radmium 1,049 miligram per liter.
Selain itu, kandungan tembaga mencapai 0,059 miligram per liter, timbal 0,554 miligram per liter, seng 1,185 miligram per liter, dan nikel 3,464 miligram per liter. Seluruh kandungan logam berat di laut Baliara melebihi baku mutu pelabuhan, wisata bahari, dan biota laut, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Ikan-ikan tak lagi mendekat ke permukiman masyarakat suku Bajo. Padahal ketika kondisi air laut jernih, Maria hanya mencari ikan di sekitar rumahnya di Bambanipa Laut, sebuah dusun permukiman masyarakat Bajo di Baliara. Maria pun mampu menangkap 10 kilogram ikan sejak pagi hingga siang dengan rata-rata penghasilan Rp100 sampai Rp120 ribu per hari.
“Sejak merah air, agak jauh pergi memancing. Biar pergi dari pagi sampai sore, biasa kita hanya dapat tiga kilogram. Paling banyak lima kilogram,” ungkap Maria.
Sampan tua Maria yang rusak termakan usia memaksanya berhenti total untuk melaut. Dari rumahnya, Maria menyusuri jembatan kayu di atas laut keruh menunjukkan kondisi sampannya yang rusak. Sampannya diikat menggunakan tali pada tiang jembatan di depan rumah Nurtang (34), warga Dusun Bambanipa Laut yang lain.
Maria mengaku masih kuat mendayung untuk melaut, meski di usianya yang senja. Namun, sampan kecil dengan bercak cat warna hijau itu sudah tak bisa lagi diperbaiki. Mengelemnya tidak mungkin, karena lambung sampannya nyaris terbelah. Dia pun tak pernah menerima bantuan sampan atau perahu.
Maria merasa tidak adil, sebab beberapa nelayan di Dusun Bambanipa Luat justru menerima bantuan perahu dengan mesin penggerak. Nelayan yang menerima bantuan disebut hanya orang-orang yang dekat dengan pemerintah desa setempat. “Saya tidak ada dikasih,” ungkap Maria.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Maria membelah ikan dan memperbaiki pukat nelayan yang rusak. Pekerjaan itu tak setiap hari. Pekerjaan membelah ikan yang akan dikeringkan hanya sesekali, jika nelayan lain membutuhkan jasanya. Upahnya pun Rp1.000 per kilogram. Jika pekerjaan membelah ikan tak ada, Maria terkadang memperbaiki pukat.
“Sekarang kerja belah-belah ikan. Kalau ada orang suruh saya perbaiki pukat, dia gaji saya. Kalau banyak rusaknya Rp60 ribu. Kalau sedikit rusaknya Rp50 ribu. Itu yang dipakai beli beras sama gula,” ungkapnya.
Namun, ketika dua pekerjaan itu tidak ada, Maria tak punya penghasilan sama sekali. Untuk makan, Maria terpaksa bergantung pada hasil melaut menantunya, suami Hasni, yang juga nelayan. “Untung ada anak. Kalau ada rezeki suaminya, kita makan,” katanya.
Maria tak sendiri. Kakak laki-lakinya juga mengalami hal serupa. Maria kembali menyusuri jembatan kayu di atas laut keruh menuju rumah Lias R. (56). Maria lewat pintu belakang lalu memanggil kakaknya. Lantai teras belakang rumah Lias tampak miring. Beberapa bagian lantai yang terbuat dari kayu juga lapuk dan berlubang.
Keluar dari dalam rumah, Lias mengambil posisi duduk pada lantai yang masih kokoh. Lias cerita kalau sudah tidak melaut, karena perahunya juga rusak termakan usia. “Mau pergi memancing bagaimana, sudah tidak ada perahu. Mau berenang, kita mati,” ujar Lias.
Perahunya sudah tiga bulan rusak, juga tak bisa diperbaiki. Lias memutuskan melepas mesin perahu, lalu menyimpannya di teras belakang rumahnya. Sejak perahunya rusak dan tak melaut, Lias kadang-kadang bekerja membelah ikan basah yang akan dikeringkan. Penghasilan dari pekerjaan itu hanya Rp50 ribu per 50 kilogram. Untuk membelah ikan 50 kilogram, Lias perlu waktu dua sampai tiga hari.
Menurut Lias, pekerjaan membelah ikan tak setiap hari ada. Lias pun hanya mengharapkan belas kasihan dari anak serta keponakannya yang kadang-kadang memberinya uang Rp20 atau Rp50 ribu. “Kalau tidak dibantu sama anak atau keponakan, sudah mati kelaparan. Kalau saya ada sampan masih ada didapat uang untuk belanja hari-hari,” ungkap Lias.
Sekalipun perahunya rusak, Lias sebenarnya bisa saja menyelam untuk memanah ikan atau gurita di dekat rumahnya jika air laut tidak keruh dan tercemar. Air laut yang jernih memudahkan Lias untuk melihat ikan dari jarak yang jauh. “Tidak pernah kurang ikan waktu terang air. Di bawah biasa memanah ikan. Sekarang apa mau dipanah, tidak kelihatan, yang ada kita tabrak batu,” ujarnya.
Maria dan Lias tak punya pilihan selain membelah ikan atau menjadi buruh serta mengharapkan belas kasih keluarganya. Apalagi mereka tidak menerima bantuan perahu sama sekali. “Biasa saya tanya, kenapa di sana dikasih bantuan perahu, saya tidak. Jawabannya dia butuh. Jadi orang seperti saya tidak butuh,” kesal Lias.
Laut Tercemar Teror Kesehatan dan Nyawa Anak Bajo

Penambangan nikel juga mengancam kesehatan bahkan nyawa anak-anak suku Bajo di Dusun Bambanipa Laut, Desa Baliara. Siang itu, masyarakat dihebohkan dengan hilangnya balita bernama Nasra, buah hati pasangan Anas dan Rahmi, Senin, 17 Maret 2025. Ketika baru pulang dari masjid usai salat asar, warga melihat jasad balita berusia dua tahun itu di atas permukaan air laut keruh.
Kakinya mengapung pada permukaan air, sedangkan kepalanya tertancap dalam lumpur setinggi betis orang dewasa. Peristiwa serupa bukan yang pertama. “Tidak dilihat memang kalau anak-anak jatuh. Sudah sering kejadian. Nanti sudah jadi mayat baru dilihat,” kata Kepala Dusun Bambanipa Laut, Suryadi, Rabu, 26 Maret 2025.
Pada 2019 silam, anak perempuan Nurtang berusia empat tahun juga meninggal setelah jatuh ke laut keruh. Nurtang cerita anaknya jatuh di bawah rumahnya saat buang air besar. Dia sempat mendengar anaknya memanggil namanya, tetapi seketika hilang. “Dia sempat panggil saya mau cebok. Pas saya ke sana, sudah jatuh. Tidak dilihat air begini. Saya menangis di situ,” kata Nurtang, Senin, 10 Maret 2025.

Anak Nurtang baru terlihat setelah jasadnya mengapung. Jasadnya ditemukan di bawah kolong rumah masyarakat Bajo lainnya, berjarak 30 meter dari rumahnya. Menurut Nurtang, anak-anak suku Bajo juga sudah tak mau berenang ke laut, karena air yang sudah berwarna kuning kecokelatan. Anak-anak Bajo hanya sekali-sekali berenang di sekitar Pulau Mataha, berjarak 3 kilometer dari Dusun Bambanipa Laut.
Anak-anak Bajo tak lagi berenang di sekitar Dusun Bambanipa Laut, karena takut terkena penyakit kulit dan gatal-gatal. Berdasarkan data Puskesmas Kabaena Barat, 72 orang di Desa Baliara memang menderita dermatitis atau penyakit kulit sepanjang 2021 sampai Maret 2025. Penyakit itu muncul setelah penderita terkena air laut yang sudah tercemar.
Salah satu penderita gatal-gatal ialah Lias. Menurut Lias, penyakit gatal-gatal yang dialaminya terjadi sejak air laut menjadi keruh. Namun, jumlah penderita dermatitis bisa lebih banyak, karena sebagian masyarakat memilih membeli obat secara mandiri tanpa harus ke puskesmas. “Saya tidak pergi ke rumah sakit, hanya beli obat saja,” ujar Lias.
Namun, masyarakat yang menerima segala dampak buruk penambangan nikel tak pernah diberi kompensasi. Kepala Teknik Tambang (KTT) PT Timah Investasi Mineral (TIM), Tatang, mengaku pihak perusahaan hanya memberikan program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat (PPM) serta corporate social responsibility (CSR) yang disalurkan melalui pemerintah desa.
Sementara kompensasi dalam bentuk uang yang sejak awal diminta warga tidak bisa diberikan. Tatang beralasan mengikuti aturan PT Timah (Persero) Tbk. sebagai induk perusahaan. “Kompensasi kita tidak bisa berikan dalam bentuk uang. Kami mengikuti PT Timah,” kata Tatang, Selasa, 11 Maret 2025.
Ampas Nikel di Laut Kabaena

Sabtu, 11 Januari 2025, masyarakat sibuk mengangkat lumpur ke dalam karung yang mengendap di bawah rumah-rumah suku Bajo di Dusun Bambanipa Laut, Desa Baliara. Lumpur yang diangkat merupakan limbah tambang nikel. Para pekerja menerima upah Rp5 ribu per karung lumpur yang diangkat.
Hal itu disampaikan Lias, tetapi dia sendiri tak ikut mengangkat lumpur bersama warga lainnya. Lias mengaku tak kebagian, karena masing-masing pekerja saling berebut karung. “Kita tidak tahu siapa yang bayar. Saya tidak pernah pergi ke sana, karena orang baku lomba-lomba untuk dapat karung,” kata Lias.
Tatang sempat menampik perusahaannya telah menyebabkan kekeruhan laut di pesisir Desa Baliara. Dia menyebut aktivitas PT TIM cukup jauh dari permukiman dan laut. Menurutnya, PT TIM telah membuat kolam sedimen di sekitar penambangan. Sementara lumpur yang mengendap di pesisir bisa saja berasal dari aktivitas perkebunan masyarakat atau timbunan makam.
“Jadi semua orang pasti menuduh Timah sebagai pelaku. Kalau dari Timah sudah membuat beberapa kolam sedimen. Jadi pengendalian air di tambang sudah dilakukan. Terkait adanya lumpur di sana, dari tambang ke pinggir laut itu lumayan panjang. Aktivitas dari kebun warga juga bisa membawa lumpur. Timbunan di makam juga bisa menimbulkan lumpur,” jelasnya.
Namun, PT TIM sendiri yang berupaya mengangkat sedimen lumpur dari laut di pesisir Desa Baliara. PT TIM telah melakukan berbagai upaya untuk itu. Salah satu yang dilakukan adalah meminta warga menggali lumpur dari dasar laut lalu dimasukkan ke dalam karung. Warga yang bekerja diberi upah Rp5 ribu per karung lumpur. Karung-karung itu lalu diangkut dan dibawa menggunakan truk.
“Warga keruk lumpur sendiri. Sebenarnya ini hanya solusi, ya. Selain dia kerja, kita hargai jasanya. Itu pun tidak memaksa ke mereka. Kalaupun mereka tidak mau, kami akan mencari yang mau. Harus ambil lumpur, tidak. Siapa yang mau silakan warga di situ. Memang ada pro dan kontra,” ungkap Tatang.
Direktur Eksekutif Walhi Sultra, Andi Rahman, menilai nelayan seperti Maria dan Lias hanya menerima ampas dari eksploitasi nikel di daerahnya. Sejak penambangan nikel yang dilakukan PT TIM dan PT TJA, kualitas lingkungan, ekonomi, dan kesehatan masyarakat Baliara justru mengalami penurunan secara drastis.
“Saya kira tidak ada kesejahteraan dari tambang bagi masyarakat. Selama ini yang dianggap sebagai sumber penghidupan mereka dicemari, dirusak, dan itu berdampak secara negatif,” ujarnya.
Namun, menurut Kepala Desa Baliara, Ancu bin Duka, persoalan lumpur di laut tidak berpengaruh pada pendapatan warganya yang mayoritas bekerja sebagai nelayan. Dia menyebut narasi itu hanya opini yang ingin dibesar-besarkan. Ancu mengatakan lumpur dari penambangan nikel hanya berdampak pada kawasan permukiman penduduk.
“Banyak nelayan yang berkurang pendapatannya itu keliru. Sebetulnya tidak mengganggu, hanya ada yang ingin membuat opini. Kalau kita bicara dampak, sebetulnya hanya permukiman,” kata Ancu, Selasa, 11 Maret 2025.
Artikel ini merupakan serial liputan yang didukung penuh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan Traction Energy Asia melalui program Akademi Jurnalis Ekonomi-Lingkungan (AJEL) Tahun Ke-3.
Post Views: 31