SCF, Mitra BPDLH Kemenkeu Potong Upah hingga PHK Sepihak Fasilitator di Sultra

2 days ago 13

Sulawesi Tenggara – Sulawesi Cipta Forum (SCF), yayasan mitra Badan Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Republik Indonesia (RI), diduga memotong upah dan biaya operasional, membuat kontrak kerja ganda, hingga melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap fasilitator di Sulawesi Tenggara (Sultra). Praktik itu dapat melemahkan fasilitator ketika mendampingi masyarakat dalam kerja-kerja penurunan emisi gas rumah kaca (GRK).

Salah satu korban PHK sepihak dan pemotongan upah ialah Rijal, fasilitator asal Desa Padaleu, Kecamatan Lalembuu, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel). Rijal mengaku bersama empat lainnya sudah tidak lagi bekerja untuk SCF. Tiga orang menjadi korban PHK, sedangkan satu lainnya mengundurkan diri.

Rijal menjelaskan kontrak kerja ganda SCF memiliki perbedaan pada pasal 4 yang memuat kompensasi gaji. Kontrak yang dibubuhi tanda tangan dan materai memuat honor fasilitator Rp3 juta per bulan, transportasi Rp150 ribu per hari untuk 22 hari kerja, serta BPJS Ketenagakerjaan (jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian) ditanggung SCF. Jika ditotal, fasilitator seharusnya menerima Rp6,3 juta jika bekerja penuh selama sebulan.

Sementara kontrak yang hanya dibubuhi tanda tangan tanpa materai memuat honor Rp3 juta, Rp500 ribu sampai Rp2 juta untuk transportasi, dan BPJS Ketenagakerjaan disediakan SCF. Namun, uang transportasi dalam kontrak dapat berbeda untuk setiap fasilitator. Kontrak tanpa materai juga hanya ditandatangani fasilitator, tanpa paraf Direktur SCF, Arham, sebagai pihak pertama atau pemberi kerja.

“Saya menduga kontrak yang ada materainya hanya untuk laporan ke BPDLH,” jelas Rijal kepada Kendariinfo, Rabu, 15 Oktober 2025.

Kontrak ganda itulah yang diduga menjadi dasar pemotongan upah dan uang transportasi fasilitator. Menurut Rijal, pemotongan dilakukan dengan cara mengirimkan upah dan uang transportasi secara penuh senilai Rp6,3 juta ke rekening masing-masing fasilitator.

Pihak SCF kemudian meminta uang yang telah ditransfer dikirimkan kembali ke rekening BNI atas nama Yayasan Sulawesi Cipta Forum. Potongan tersebut berkisar antara Rp1,5 juta sampai Rp2,8 juta yang dikuatkan bukti transfer fasilitator ke rekening BNI Yayasan Sulawesi Cipta Forum setiap bulan.

“Uang Rp6,3 juta ini juga hanya lewat. Mungkin sebagai laporan saja SCF ke BPDLH. Pemotongan beda-beda setiap fasilitator. Pemotongan dana operasional dan gaji dari 55 sampai 85 persen, membuat fasilitator tidak cukup untuk menjalankan tugas lapangan secara layak,” ungkapnya.

Tanpa pemotongan pun, honor para fasilitator sebenarnya tidak sesuai ketentuan upah minimum provinsi (UMP) dan upah minimum kabupaten atau kota (UMK). UMP Sultra sendiri dipatok Rp3.073.551 dan UMK Kendari Rp3.314.389. Sementara transportasi masuk dalam kategori tunjangan tidak tetap, karena dihitung berdasarkan kehadiran atau kunjungan lapangan para fasilitator.

Selain menerima pemotongan upah, Rijal menjadi korban PHK sepihak dari SCF. Rijal menjelaskan pertama kali menandatangani kontrak kerja dengan SCF pada Desember 2024. Kontrak kerja berlaku enam bulan, mulai Desember 2024 sampai Juni 2025. Namun, belum selesai masa kontrak, Rijal diberhentikan sepihak melalui pesan WhatsApp.

“Minta maaf, Jal, sepertinya Ijal harus istirahat mulai bulan depan. Saya sudah berusaha kasih ruang untuk perbaikan akhir-akhir ini. Mungkin dan saya berharap ruang Rijal untuk berproses saat ini ada di tempat lain yang lebih baik,” tulis eks Project Manager SCF di Sultra, Sutrisno Absar, kepada Rijal melalui pesan WhatsApp, Kamis, 24 April 2025.

Rijal menilai alasan PHK tak berdasar. Dia dituduh tidak profesional ketika bekerja. Selama bekerja pun, Rijal tidak pernah menerima peringatan lisan dan tertulis sebagaimana tercantum dalam pasal 5 ayat 2 pada kontrak kerja dengan SCF tentang pemutusan hubungan kerja.

“Hanya pemberhentian lewat chat WhatsApp. Sampai saat ini tidak ada saya dapat surat resmi pemberhentiannya dari SCF. Kalau dua teman lainnya dapat surat pemberitahuan,” jelasnya.

Hak-hak fasilitator lapangan sebagai pekerja yang menjadi korban PHK juga tak diberikan. Berdasarkan Pasal 40 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja, pemberi kerja berkewajiban membayar pesangon atau penghargaan masa kerja dan uang yang seharusnya diterima. Besaran uang pesangon tersebut dapat dihitung dari masa kerja.

Program SCF di Sultra

SCF sendiri adalah yayasan pelaksana program Result-Based Payment (RBP) Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) Output 2 atau pembayaran berbasis kinerja untuk mendukung negara berkembang mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor kehutanan. Program itu merupakan inisiatif pendanaan global.

Dana dari sumbangan global kemudian dikelola BPDLH yang menunjuk SCF sebagai pelaksana program untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di Sultra dan Sulawesi Barat (Sulbar). Di Sultra, SCF berkomitmen menurunkan emisi GRK melalui penguatan kapasitas, aksi tapak dan kebijakan dalam pengelolaan hutan lestari, serta perbaikan penghidupan masyarakat sekitar hutan, yang dilakukan selama tiga tahun, mulai 2024 sampai 2027.

Untuk melaksanakan program itu, SCF merekrut fasilitator di Sultra yang bertugas mendampingi masyarakat desa sekitar perhutanan sosial. Pendampingan dilakukan di tiga daerah uji coba, yakni masyarakat kawasan Taman Hutan Rakyat (Tahura) Nipanipa (Kota Kendari), Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Gularaya (Konsel), dan KPH Laiwoi Tenggara (Konawe).

Namun, dalam pelaksanaan RBP REDD+ Output 2 di Sultra, upah para fasilitator justru dipotong hingga PHK sepihak. Direktur SCF, Arham, enggan berkomentar soal penyelenggaraan program RBP REDD+ Output 2 di Sultra. Arham juga tak menjawab soal pemotongan upah dan biaya operasional, kontrak kerja ganda, serta PHK sepihak fasilitator di Sultra.

“Mungkin lebih layak (wawancara pelaksanaan program RBP REDD+ Output 2 di Sultra) dengan Pak Sultan (Manajer SCF di Sultra),” ujar Arham kepada Kendariinfo melalui pesan WhatsApp, Senin (3/11).

SCF Bantah PHK Sepihak dan Potong Upah Fasilitator

Project Manager SCF di Sultra, Muhammad Sultan, membantah yayasan melakukan PHK terhadap fasilitator. Dia mengungkapkan fasilitator yang sudah tidak bekerja untuk SCF mengundurkan diri secara sukarela, termasuk Rijal.

“Kalau Rijal pengunduran diri,” ujar Sultan kepada Kendariinfo saat ditemui di Kantor SCF, Jalan Wijaya Kusuma, Kelurahan Lahundape, Kecamatan Kendari Barat, Kota Kendari, Rabu (5/11).

Sultan juga membantah adanya pemotongan upah fasilitator. Menurut Sultan, fasilitator yang mengirimkan kembali uang ke rekening BNI Yayasan Cipta Forum merupakan sukarela dan tidak ada patokan. Dia menyebut uang itu sebagai kontribusi fasilitator terhadap yayasan untuk membiayai penelitian, aksi-aksi kemanusiaan, dan membayar tenaga-tenaga di luar program, seperti RBP REDD+ Output 2.

“Kalau menurut saya bukan pemotongan. Itu kesukarelaan orang. Kalau kontribusi ke yayasan masing-masing punya peruntukan. Misalnya membiayai penelitian, aksi-aksi kemanusiaan, membayar tenaga-tenaga yang tidak terkontrak di project. Office boy kantor itu tidak ada kontrak di project,” ungkapnya.

Namun, Mediator Hubungan Industrial (HI) Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) Sultra, La Ode Muhammadin, menilai perjanjian kerja seharusnya tidak bertentangan dengan peraturan yayasan. Begitu pula peraturan yayasan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Jika bertentangan, perjanjian kerja dan peraturan yayasan batal demi hukum.

Peraturan dimaksud Muhammadin adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, hingga Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.

“Kalau perselisihan ini pedomannya. Apabila bertentangan, maka dikatakan batal demi hukum. Yang berlaku dan menjadi landasan pedoman para pihak adalah peraturan perundang-undangan,” jelas Muhammadin kepada Kendariinfo ketika ditemui di ruang kerjanya, Selasa (4/11).

Post Views: 76

Read Entire Article
Rapat | | | |