Sulawesi Tenggara – Pusat Kajian dan Advokasi Hak Asasi Manusia (Puspaham) menilai revisi rencana tata ruang wilayah (RTRW) Sulawesi Tenggara (Sultra) hanya menjadikan hutan sebagai objek eksploitasi. Sementara hutan merupakan bagian penting bagi masyarakat lokal dan habitat hewan endemik Sultra, seperti anoa.
Direktur Puspaham Sultra, Kisran Makati, mengatakan revisi RTRW yang sedang berlangsung berisiko mempercepat kerusakan ekologis pada kawasan vital di Gunung Mekongga, Savana Lawali, Muara Lasolo, serta pulau kecil, seperti Wawonii dan Kabaena. Selain kawasan vital, wilayah adat juga dalam ancaman alih fungsi menjadi konsesi pertambangan dan industri.
Alih fungsi lahan pangan juga sedang berlangsung. Lahan persawahan di Sultra berpotensi berubah menjadi Kawasan Strategis Nasional (KSN) yang berisiko menghilangkan beras dan sumber pangan lokal, seperti sagu akibat ekspansi industri, termasuk perkebunan sawit.

“Kami menyerukan agar revisi RTRW Sultra mengedepankan keadilan ekologis dan sosial sebagai prioritas utama. Hutan bukan sekadar peta di atas kertas dan anoa bukan hanya cerita. Mereka adalah simbol kehidupan yang wajib kita lindungi bersama,” kata Kisran, Senin (2/6/2025).
Kisran yang juga mantan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sultra (2014 – 2018) mengingatkan soal konflik data spasial. Konflik tersebut menyebabkan tumpang tindih izin pertambangan, penurunan status kawasan hutan, serta pergeseran ruang ekologis menjadi konsesi tambang, perkebunan sawit, atau industri.
“Wilayah adat dan lahan pertanian rakyat terancam dialihfungsikan menjadi zona konsesi tambang dan industri tanpa melibatkan partisipasi masyarakat secara memadai,” ungkapnya.
Sementara daerah rawan bencana belum menjadi perhatian serius pemerintah dalam revisi RTRW Sultra. Di Konawe Utara (Konut) dan Kabaena, banjir berulang kali akibat alih fungsi lahan dan kerusakan hulu sungai terus mengancam keselamatan masyarakat.
“Data banjir di Konawe Utara menunjukkan pentingnya memasukkan mitigasi risiko bencana dalam RTRW,” ujarnya.
Olehnya itu, Puspaham Sultra mendesak pemerintah dan DPRD segera menetapkan kawasan lindung esensial, mengakui dan melindungi wilayah adat serta pertanian adat. Mereka juga meminta penyelarasan data spasial antarinstansi, memberlakukan moratorium perluasan tambang dan HGU, serta memulihkan ruang hidup melalui reklamasi pascatambang, termasuk izin aktif maupun yang telah dicabut.
“Kami berharap rekomendasi ini menjadi pijakan kebijakan dan alat advokasi bagi pemerintah daerah, lembaga terkait, dan masyarakat untuk menjaga keanekaragaman hayati sekaligus menjamin hak-hak masyarakat lokal di Sultra,” pungkasnya.
Post Views: 89