Sulawesi Tenggara – Masyarakat sipil dari Koalisi Sulawesi Tanpa Polusi turut membawa masalah dampak batu bara pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) captive di wilayah Kecamatan Morosi dan Kapoiala, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara (Sultra), ke Jakarta. Mereka bertandang ke Kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia (RI) serta melaporkan secara langsung masalah yang terjadi di lapangan.
Gian Purnamasari dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sultra yang aktif mengadvokasi masyarakat Morosi dan Kapoiala terdampak PLTU captive memaparkan sejumlah temuan lapangan. Gian mengatakan wilayah Morosi dan Kapoiala telah dikepung smelter dan PLTU berbasis batu bara. Hal itulah yang menjadi masalah utama dan berdampak langsung pada sosial, ekologi, dan ekonomi masyarakat.
“Saya mendampingi warga terdampak, terutama di Kabupaten Konawe. PLTU yang digunakan untuk mendukung kawasan industri menggunakan batu bara dan menjadi sumber utama polusi,” kata Gian dalam audiensi di Kementerian ESDM RI, Rabu (21/5/2025).

Warga di Kecamatan Kapoiala, lokasi smelter PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI), telah merasakan dampak kesehatan serius. Penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dilaporkan terus meningkat. Berdasarkan data Puskesmas Kapoiala, penderita ISPA tahun 2021 berjumlah 85 kasus, 2022 245 kasus, 2023 549 kasus, dan 2024 352 kasus. Sementara di Kecamatan Morosi, ibu-ibu harus membersihkan rumah setiap saat, karena debu hitam terus masuk.
“Anak-anak yang terus-menerus menghirup debu ini akan terganggu pertumbuhan dan perkembangan organnya. Mereka sangat rentan. Debu juga sampai masuk ke dalam lemari makan. Piring dan alat makan harus dibersihkan setiap saat,” ungkapnya.
Selain pencemaran udara, limbah PLTU ikut juga mencemari tambak warga di Desa Tani Indah, Kecamatan Kapoiala. Pengairan tambak yang bersumber dari Sungai Motui telah tercemar. Walhi Sultra melakukan uji sampel pada air Sungai Motui di sekitar kawasan industri dan menemukan bahwa kandungan kadmium dan timbal melebihi baku mutu berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
“PLTU ini menghasilkan fly ash dan bottom ash yang mencemari tambak. Dulu warga bisa panen dengan hasil 20 hingga 50 juta. Sekarang mereka seringkali gagal panen, bahkan tak mendapatkan hasil sama sekali. Ada juga kandungan kadmium dan timbal yang melebihi baku mutu lingkungan. Jika ikan dari sungai ini terus dikonsumsi, risiko kanker dan kematian dini sangat mungkin terjadi,” jelas Gian.
Selain ancaman kesehatan dan lingkungan, dampak sosial pun dirasakan masyarakat, terutama kelompok rentan, seperti pekerja perempuan di sekitar smelter dan pertambangan. Kondisi itu jelas melanggar Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 yang menjamin hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat.
“Pekerja perempuan di sekitar pertambangan sangat rentan. Ini bukan hanya soal lingkungan, tetapi pelanggaran hak asasi manusia,” ujarnya.
Atas dasar itu, Walhi Sultra bersama Koalisi Sulawesi Tanpa Polusi mendorong diberlakukannya moratorium PLTU industri, menaikan standar kebijakan perlindungan lingkungan dan sosial, membuka ruang dialog bersama masyarakat terdampak, serta merevisi pasal pembangunan PLTU captive dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
Koalisi Sulawesi Tanpa Polusi juga meminta penghentian pembangunan dan operasional PLTU captive; meninjau ulang status Proyek Strategis Nasional (PSN) bagi proyek-proyek hilirisasi nikel yang merusak lingkungan dan menyingkirkan rakyat; melindungi wilayah kelola rakyat, hutan adat, dan kawasan lindung dari ekspansi tambang dan smelter; reformasi penegakan hukum di sektor tambang, termasuk penghentian kriminalisasi terhadap pembela lingkungan; pelibatan masyarakat lokal dan komunitas adat dalam setiap pengambilan keputusan soal tambang dan energi; serta pemulihan ekologi secara menyeluruh di wilayah yang telah rusak, termasuk penyediaan layanan kesehatan bagi masyarakat terdampak.
“Kami tidak ingin ada lagi pelanggaran HAM yang terus terjadi di tapak industri. Kami mendesak dihentikannya pembangunan dan operasional PLTU berbasis batu bara agar masyarakat bisa hidup sehat dan sejahtera,” pungkasnya.
Post Views: 77